Minggu, 28 September 2014

KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL

BAB III
KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL

1.        HUKUM INTERNASIONAL PADA JAMAN KUNO
Dalam pengertian luas, usia hukum internasional itu sudah cukup tua. Dalam lingkungan kebudayaan Yunani Kuno dan juga Romawi Kuno, sudah dikenal konsep-konsep hukum internasional dan beberapa diantaranya masing dianut pada jaman modern sekarang ini. Ajaran Hukum Alam seperti telah dibahas di muka, berasal dari Jaman Yunani dan masih tetap berpengaruh sampai pada Jaman Romawi Kuno. Juga pranata-pranata hukum tentang perwasiatan (arbitrase), diploma dan konsul sudah dipraktekkan pada jaman Yunani Kuno. 1)
Sedangkan pada jaman Romawi Kuno, di samping ajaran Hukum Alam, juga dikenal apa yang disebut deng jus gentium. Ruang lingkup dari jus gentium ini di samping mencangkup kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan antara bangsa Romawi dengan orang bukan Romawi. Selain dari pada itu, konsep-konsep dan asas-asas hukum Romawi juga telah diterima menjadi asas-asas hukum internasional. Misalnya tentang cara-cara memperoleh tambahan wilayah bagi suatu negara maupun cara-cara kehilangan wilayah, diambil oper dari hukum Romawi tentang cara-cara memperoleh dan kehilangan hak milik. Demikian pula dengan hak servitut, asas itikad baik, asas pacta sunt servanda dan lain-lainnya. 2)
Lingkungan kebudayaan lain yang juga telah memberikan sumbangan besar bagi hukum internasional adalah kebudayaan Byzantium. Sumbangan Byzantium misalnya dalam bidang diplomasi dan hukum diplomarikdan konsuler. Sedangkam kebudayaan India Kuno dan Cina Kuno (Keduanya di Asia) jugate;ah mengenal benih-benih dan konsep-konsep hukum interasional yang juga memberikan sumbangan bagi lahirnya hukum internasional, misalnya hubungan hukum antara raja-raja ata kerajaan-kerajaan, tentang hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan bagi para utusan.3)
Lingkungan kebudayaan Yahudi telah memberikan sumbangan bagi hukum internasional, seperti misalnya tentang pembuatan perjanjian-perjanjian, perlakuan terhadap sebagaimana terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama (Old Testament)
2.      HUKUM INTERNASIONAL PADA ABAD PERTENGAHAN
Struktur masyarakat eropa pada abad Pertengahan tidal memungkinkan hukum internasional untuk berkembang. Sebagaimana diketahui, pada abad pertengahan yang juga disebut abad gelap (dark-ages) masyarakat eropa berada dibawah satu kesatuan besar Imperium Romawi besar, sehingga tidak ada kesempatan bagi tumbuh dan berkembangnya wilayah-wilayah yang berada dibawah Imperium Romawi itu mengadakan hubungan-hubungan hukum secara mandiri dan sama derajat antara satu dengan lainnya. 5)
Selain daripada itu, sangat besarnya wibawa dan pengaruh Gereja pada masa itu dengan ajaran Ketuhanannya, dimana hukum dipandang berasal dari Tuhan, sama sekali tidak memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan hukum (internasional) pada masa itu. Masyarakat Eropa pada masa itu seolah-olah terkungkung dalam kegelapan dengan struktur di bawah penguasa tunggal (rohani dan duniawi) yakni Gereja. 6)
Keadaan seperti inilah yang sangat merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional, sebab kondisi seperti diuraikan di atas sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi negar-negara kecil untuk mengadakan hubungan secara bebas yang akan melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
3.      HUKUM INTERNASIONAL PADA MASA ABAD KE-16, 17, 18, 19 DAN AWAL ABAD KE-20
3.1              Masa 1648-1907 (Tahap memperjuangkan Hak Hidup. 7)
Abad ke-16 yang boleh dikatakan sebagai abad kebangkitan kembali benua Eropa serta semakain merosotnya pengaruh Abad Pertengahan, memberikan angin baru bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional. Perang Tiga Puluh yang merombak struktur masyarakat Eropa sebagai kelanjutan dari keruntuhan Imperium Romawi dan merosotnya pengaruh Gereja, mencapai titik kulminasinya dalam Perjanjian Perdamaian Westphalia pada tahun 1648. 8)
Perjanjian Perdamaian Westphalia ini dapat pula dikatakan sebagai titik balik bagi perkembangan masyarakat internasional (negara-negara) dan hukum internasional. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam Perjanjian Perdamaian Westphalia ini telah diletakkan dasar-dasar bagi terbentuknay masyarakat internasional baru yang sangat berbeda dengan masyarakat internasional pada masa sebelumnya. Tata masyarakat internasional bari ini sudah tentu merupakan kondisi yang sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional baru. Oleh karena semenjak itu, mulai muncul negara-negara kebangsaan yang bercorak teritorial (kewilayahan) dan berdasarkan pada prinsip-prinsip kemerdekaan., kedaulatan dan kesamaan derajat. Hubungan antara negara-negara tersebut, tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
Dengan cara-cara itu, tampaklah bahwa hukum internasional mulai mendapat tempat yang selayaknya menampakkan diri. Sebagai bidang hukum yang mulai tumbuh, -“walaupun prinsip-prinsipnya sudah tertanam pad lingkungan-lingkungan kebudayaan Jaman Kuno” – sudah tentu pada masa sesudah tahun 1648 itu hukum internasional belum menemukan bentukknya yang pasti. Boleh dikatakan hukum internasional pada masa itu masih berada dalam tahap mencari bentuk dan isinya. 9)
Dalam tahap ini, sudah sudah tentu masih terdapat banyak masalah yang belum ada pengaturannya ataupun peraturan hukumnya masih belum jelas. Dalam kondisi seperti ini, orang berpaling kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku atau pernah berlaku pada masa sebelumnya yang pernah dianut dan di praktekkan dalam berbagai lingkungan sosial budaya, seperti   misalnya Yunani, Romawi, Byzantium, Yahudi dan lain-lainnya.
Disamping itu pula, dalam kondisi seperti ini orang pun berpaling pada pemikir. Pendapat dan pandangan mereka tentang suatu masalah menjadi amat penting nilainya oleh karena mereka dipandang mampu melihat dan menunjukkan upaya pemecahan serta menyelesaikannya secara adi dan obyektif. Pendapat mereka menjadi sangat dominan dan berpengaruh, terutama dalam memberikan makna dan isi atau suatu masalah maupun pengaturan atas masalah tersebut. Namun demikian, tidaklah jarang  pendapat para sarjana tersebut bertentangan satu dengan lainnya. Dalam suasana pertentangan ataupun perbedaan pendapat tersebut, bisa jadi akan muncul suatu modifikasi baru yang nantinya dapat menjelma menjadi hukum internasional positif. Atau, mungkin pula pendapat sarjana yang satu dianut dan perkembangan menjadi hukum internasional positif sedangkan pendapat sarjana yang lain ditinggalkan. 10)
Pada umumnya para sarjana atau penulis hukum internasional itu digolongkan ke dalam tiga kelompok besar: 11)
1.      Para sarjana sebelum masa Grotius
2.      Para sarjana pengikut Grotius
3.      Para sarjana sudah Grotius
Grotius atau Hugo de Groot tampil sebagai garis pembeda bagi kalangan sarjana atau penulis hukum internasional pada jamannya. Hal ini disebabkan oleh karena dia memainkan peranan yang sangat monumental bagi perkembangan hukum internasional. Dia menciptakan suatu masa transisi di mana dia tidak hanya semata-mata tunduk pada jamannya, tetapi dia juga menjadi pencipta dan induk pada jaman sesudahnya. Dikatakan sebagai anak atau produk dari jamannya, oleh karena dia tidak bisa lepas dari pengaruh pada jaman yang mewarnainya, khususnya yang menyangkut pendapat dan pandangannya. Dikatakan sebagai induk dari jamannya dan jaman sesudahnya, oleh karenanya dia sudah mampu mewarnai maupun memberi corak tersendiri jaman tersebut sehingga tampak berbeda dengan jaman sebelunya. 12)
Jasa Grotius yang penting adalah keberaniannya untuk mensekulerisasikan atau memurnikan ajaran Hukum Alam dengan mengeluarkan unsur-unsur atau pengaruh Ketuhanan. Dalam beberapa hal Grotius pun telah meletakkan dasar-dasar bagi lahirnya ajaran Hukum Positif. Sehingga ada para sarjana yang menganggap Grotius mengkombinasikan ajaran Hukum Alam dengan ajaran Hukum Positif.
Jasanya yang cukup monumental adalah menyusun suatu sistematika secara ilmiah tentang hukum internasional menjadi dua golongan besar yaitu hukum internasional bagian perang dan hukum internasional bagian damai yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul “De jure Belli ac Pacis” (Tentang Hukum Perang dan Damai). Sistematika Groticus ini pada jamannya memang merupakan suatu karya gemilang dan cukup berpengaruh di kalangan sarjana hukum internasional.
Berbeda dengan Groticus, para penulis pada masa sebelumnya masih diwarnai dan dipengaruhi oleh ajaran Hukum Alam. Ciri-cirinya antara lain, belum dipisahkannya antara moral, agama dan hukum.
Mereka itu misalnya:
1.      Francisco Vittoria (Spanyol) yang menulis buku Reflectico de Indies yang membahas tentang hubungan antara Spanyol dan Portugal pada satu pihak dengan orang-orang Indian di benua Amerika.
2.      Francisco Suarez yang menulis buku berjudul De Legibus ac de Legislatore yang membahas peranan Tuhan sebagai pembuat Hukum.
3.      Balthazar Ayala
4.      Alberico Gentilis
Sedangkan para penulis sesudah Grotius, dipengaruhi oleh ajaran Hukum Positif. Mereka sudah memisahkan antara Tuhan/agama, moral dan hukum. Mereka berpijak pada realitas negara-negara.
Para penulis sesudah Grotius itu, antara lain:
1.      Zouche (1590-1660), seorang guru besar hukum perdata di Oxford
2.      Pfufendorf (1632-1694), seorang guru besar pada Universitas Heidelberg
3.      Cornelis von Bynkershock (1673-1743) seorang yurist berkebangsaan Belanda
4.      Christian Wolf (1609-1764), seorang yurist filsuf dari Jerman
5.      Von Martens (1756-1821), seorang guru besar berkebangsaan Jerman
6.      Emerich de Vattel (1714-1767), seorang yurist dan Diplomat Swiss
Pendapat dan pandangan para penulis seperti yang dituangkan dalam karyanya itu., walaupun tidak persis sama antara satu dengan yang lainnya mengenai sesuatu hal tetapi telah memberikan warna dan pengaruh tersendiri bagi pertumbuhan hukum internasional pada masa itu. Pranata-pranata hukum tertentu, tidak jarang yang tumbuh dan melembaga berkat pandangan dari para sarjana tersebut.
Semakin mapannya eksistensi negara-negara nasional (kebangsaan) dengan batas-batas wilayah atau teritorial yang pasti serta hidup berdampingan secara damai dalm suasana merdeka, berdaulat dan sama derajat, pada pihak ternyata mampu mengendalikan negara-negara untuk tidak menyelesaikan sengketa dengan car kekerasan. Pada lain pihak juga mendorong mereka untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai melalui perundingan.
Lahirlah kemudian cara-cara penyelesaian sengketa melalui perundingan, komperensi dan kongres-kongres internasional. 13) Dalam perkembangan selanjutnya konferensi-konferensi itu tidak saja berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa intenasional tetapi juga sebagai sarana untuk membentuk kaidah-kaidah hukukm internasional mengenai suatu masalah tertentu. Konferensi-konferensi internasional itu membentuk atau melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional mengenai masalah tertentu yang berbentuk konvensi-konvensi. Sebagai contoh misalnya, konferensi perdamaian Den Haag ! tahun 1899 dan konferensi perdamaian Den Haag II tahun 1907yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar-dasar hukum perang internasional yang yang dalam era sekarang ini berkembang menjadi hukum humaniter internasional. 14) Demikian juga sekitar abad ke 19telah lahir lembaga-lembaga internasional seperti misalnya, Palang Merah Internasional berkat jasa-jasa dari Hendry Dunant, juga international Telecomunication Organisation yang sekarang menjelma menjadi Internasional Telecomunication Union (ITU) dan lain-lain. 15)
3.2              Masa antara 1907-1945 (Tahap konsolidasi bagi negara-negara kolonial  dan tahap memperjuangkan hak hidup bangsa-bangsa terjajah)
Keberhasilan membangun struktur masyarakat internasional modern selama masa 1648-1907 yang ditandai dengan keberhasilan untuk mempertahankan hak hidup dan eksistensi negra-negara nasional sebagai kesatuan-kesatuan politik yang merdeka, berdaulat dan sama derajat serta keberhasilan memperkenalkan konferensi-konferensi internasional sebagai media untuk membentuk hukum internasional maupun membentuk lembaga internasional, semakin memantapkan usaha untuk mewujudkan konsolidasi diri. Berbagai pembenahan sesudah tahun 1907, menunjukkan bahwa masyarakat internasional yang terdiri atas negara-negara nasional dan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional semakin menampakkan kedewasaannya.
Namun demikian, terdapat pula salah satu akses negatif dari tahap konsolidasi ini yaitu usaha saling merebut pengaruh antara negara-negara terhadap satu dengan lainnya. Usaha saling memperebutkan pengaruh itu seringkali dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum internasional. Meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914 dan berakhir pada tahun 1918, merupakan lembaran hitam dalam sejarah perjalanan kehidupan masyarakat internasional. Perang Dunia I ini hampir saja memporak porandakan tata kehidupan masyarakat internasional pada masa itu yang dasar-dasarnya dengan susah payah telah diletakkan pada masa-masa sebelumnya.
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, satu modal utama yang masih ada dan melekat pada masyarakat internasional (negara-negara) yakni kesadaran bahwa perang atau kekerasan bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan dengan belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, timbullah keinginan-keinginan untuk mengahpuskan dan mencegah timbulnya perang yang pada hakikatnya hanyalah sebagai penghancur terhadap eksistensi umat manusia.
Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (The League of Nations) pada tahun 1919,16) tk lama setelah berakhirnya Perang Dunia I dengan tujuan yaitu mewujudkan ketertiban, keamanan dan perdamaian dunia, secara tersimpul dapat pula dipandang sebagai usaha-usaha mengatur hubungan-hubungan internasional berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum internasional. Di samping itu dalam batas-batas tertentu Liga Bangsa-Bangsa pun baik langsung tidak langsung dapat berfungsi sebagai badan pembentuk hukum internasional. 17)
Demikian pula dengan pembentukan badan peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional permanen (Permanent Court of International Justice) 18)yang merupakan salah satu organ dari Liga Bangsa-Bangsa maupun badan peradilan lain yang sudah ada atau pernah ada pada masa sebelumnya, dapat diartikan bahwa masyarakat internasional dalam mengatur hubungan-hubungan internasional.
Pada hakekatnya , berdirinya organisasi-organisasi internasional adalah sebagai perwujudan dari kerjasama internasional antara negara-negara untuk mencapai sebuah tujuan seperti misalnya mencegah peperangan dalam rangka mewujudkan keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia. Hal ini tidaklah berarti bahwa diluar jalur kelembagaan tersebut tidak ada jalur lain untuk mencapai tujuan serupa. Perundingan-perundingan bilateral maupun konferensi-konferensi internasional multilateral masih tetap merupakan jalur yang diandalkan untuk mencapai tujuan. Seperti halnya Pakta Briand-Kellog (Briand-Kellog Pact) 19) tahun 1928 antara Prancis dan Amerika Serikat yang juga bertujuan untuk menghapuskan perang, sama seperti halnya tujuan Liga Bangsa-Bangsa.
Peristiwa bersejarah lainnya yang patut dicatat dalam sejarah pertumbuhan hukum internasional adalah konferensi Kodifikasi Hukum Internasional yang di selenggarakan di Den Haag Negeri Belanda pada tahun 1930 atas prakasa Liga Bangsa-Bangsa. Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional ini telah menghasilkan beberapa konvensi internasional yang sangat berarti bagi pertumbuhan hukum internasional. 20)
Stabilitas masyarakat internasional (negara-negara) pada masa setelah Perang Dunia I atau pada masa hidupnya Liga Bangsa-Bangsa ternyata tidak berumur panjang. Perang Dunia II yang meletus pada tahun 1939 dan disusul Perang Asia Timur Raya pada tahun 1942, 21) merupakan peristiwa yang kedua kalinya memporak porandakan struktur masyarakat internasional yang sudah mulai mapan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, maka segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak jauh berbeda dengan Liga Bangsa-Bangsa. 22)
Perang Dunia yang terjadi dua kali berselang dalam jangka waktu yang pendek, kalau disimak dengan seksama sebenarnya hanyalah merupakan lintasan sejarah atau sebagai gempa besar yang menggoncang struktur dan kehidupan normal dari masyarakat internasional yang tunduk pada hukum internasional.kedua Perang Dunia itu tidak sampai merombak ataupun merusak secara total struktir masyarakat internasional. Masyarakat Internasional kembali pada keadaan semula, bahakan karena belajar dari pengalaman tersebut, justru sesudah Perang Dunia II itu masyarakat internasional semakin pasti menuju ke arah kemajuan.
3.3.      Masa sesudah Perang Dunia II hingga sekarang.
            (Tahap Emansipasi bagi negara-negara baru merdeka dan bangsa-bangsa terjajah).
3.3.1.      Lahirnya negara-negara baru.
Justru setelah Perang Dunia II (setelah tahun 1945) inilah mulai timbul masa kecerahan bagi perkembangan masyarakat dan hukum internasional. Dapat dikatakan bahwa, masa setelah Perang Dunia II merupakan masa timbul atau mulainya tahap baru bagi masyarakat dan hukum internasional. Dikatakan demikian, oleh karena terjadi beberap perubahan dan perkembangan baru yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya.
Namun, sebelum kita lebih lanjut masa sesudah Perang Dunia II, baiklah kita berpaling sejenak ke belakang yaitu meninjau struktur peta bumi politik duniapada masa lampau secara menyeluruh. Hal ini sangat penting, sebab apa yang telah diuraikan di atas, baik pada masa memperjuangkan hak hidup (1648-1907) maupun masa konsolidasi (1907-1945), semua itu hanyalah berlaku bagi masyarakat internasional atau negara-negara di kawasan Eropa dan belakangan juga di kawasan Amerika.
Keadaan seperti tersebut diatas tidak dicerminkan dunia secara menyeluruh. Padahal kita semua mengetahui bahwa semenjak abad ke 17 sampai pada akhir Perang Dunia II sebagian besar bangsa-bangsa di kawasan Afrika, Asia dan Pasifik. Dengan demikian polarisasi yang terjadi pada masa itu adalah dunia tampak terbagi menjadi dua. Pada satu pihak adalah kelompok bangsa-bangsa atau negara penjajah atau kolonial yang terdiri atas sebagian besar negara-negar di kawasan Eropa dan sebagian lagi Amerika. Pada pihak lain adalah kelompok bangsa-bangsa atau lebih tepat wilayah-wilayah jajahan. 24)

Jika kita meninjau kembali masa sekitar tahun 1907 sebagai awal dari masa konsolidasi masyarakat internasional (bagi negara-negara di kawasan Eropa) yang sebelumnya telah berhasil memperjuangkan dan mempertahankan hak hidupnya (1648-1907), pada belahan dunia lain khususnya di kawasan Asia dan Afrika serta Pasifik justru baru muncul usaha-usaha memperjuangkan dan memperoleh kembali hak hidupnya yang telah berabad-abad dirampas oleh negara-negara kolonial tersebut. Timbulnya pergerakan-pergerakan nasional di beberapa wilayah jajahan untuk memperoleh kemerdekaan yang mulai muncul pada awal abad ke 20 sampai berakhirnya Perang Dunia II dan beberapa tahun sesudahnya, menunjukkan bahwa barulah pada masa tersebut mereka berada pada tahap memperjuangkan hak hidupnya.
Barulah pada masa setelah Perang Dunia II sampai pada tahun 1960-an sebagian besar wilayah-wilayah jajahan tersebut memperoleh kemerdekaan dan mulai berdiri sebagai negara-negar merdeka, sederajat dan sama kedudukannya dengan negara-negara bekas jajahannya. Dengan demikian, masa antara 1907-1945 dan 1960-an, bagi negara-negara baru di kawasan Asia dan Afrika serta Pasifik tersebut barulah merupakan masa memperjuangkan hak-haknya yaitu hak hidup sebagai negara merdeka. Maka kalau kita amati sekali lagi peta bumi politik dunia, khususnya setelah Perang Dunia II tampaklah bahwa sudah terjadi perubahan besar yaitu dengan munculnya negara-negara merdeka di kawasan Asia, Afrika dan Pasifik.
Namun patut dicatat pula, bahwa pada masa tersebut negara-negara baru iti barulah berhasil memperoleh hak-hak politiknya saja. Sedangkan secara ekonomi, ketergantungan mereka pada kekuatan ekonomi negara-negara kolonial masih sangat besar. Dengan kata lain, kolonialisme atau penjajahan politik memang sudah mulai berakhir pada masa itu, tetapi kolonialisme atau penjajahan ekonomi masih berlangsung terus.
Meskipun demikian, dengan munculnya negara-negara baru di ketiga kawasan tersebut menampakkan bahwa peta bumi politik dunia sudah mengalami perubahan yang cukup fundamental. Hal ini sudah barang tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional. Oleh karena itulah, maka memasuki era setelah Perang Dunia II dan sesudahnya titik fokus pandangan dan kawasan kita tidak lagi hanya ke kawasan Eropa dan Amerika melainkan haruslah global yakni penjuru dunia.
Bagaimana halnya dengan ketaatan dan tunduknya negara-negara baru itu terhadap hukum internasional? Pertanyaan inimenjadi relevan bagi negara-negara baru tersebut, oleh karena sebagai negara baru merdeka, apakah mereka harus tunduk begitu saja pada hukum internasional itu atau tidak? Apakah mereka hanya sebagai penerima yang pasif saja terhadap hukum internasional yang sudah ada dan berlaku sebelumnya yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh negara-negara Eropalah yang notabene adalah negara-negara bekas penjajahan.
Sebagai negara-negara baru merdeka, mereka tentu saja tidak begitu saja menolak secara total prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang memang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya juga tidak begitu saja mentaatinya dengan membabi buta, sebab ada saja kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan mereka. Sikap kritis maksudnya adalah sikap menerima hukum internasional itu tetapi dengan selalu menganalisis sejauh mana prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang lama itu masih dipertahankan ataukah harus diadakan perubahan. Sikap korektif, maksudnya adalah menilai dan mengoreksi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang mana yang masih dapat dipertahankan dan yang mana yang perlu diubah dan diganti dengan yang baru. Sikap konstruktif maksudnya merombak atau mengganti prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional itu dalam rangka mewujudkan masyarakat dan hukum internasional yang dicita-citakan.
Dengan sikap-sikap seperti tersebut di atas, negara-negara baru merdeka 26) tersebut akan dapat bersama-sama dengan negara-negara maju melakukan perubahan dan perbaikan bahkan mengembangkan masyarakat dan hukum internasional menuju kearah yang di cita-citakan. Selama ini tampaknya sikap ini sampai derajat tertentu memang sudah di jalankan dan dalam kenyataan telah menghasilkan banyak prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya dan semakin canggihnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang timbul terutama setelah Perang Dunia II.
Masa setelah Perang Dunia II hingga sekarang ini, cukup tepat apabila dikatakan tahap emansipasi masyarakat internasional, khususnya emansipasi dari negara-negara baru merdeka. Sebenarnya, dengan timbulnya pergerakan-pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan itu sendiri sudah merupakan suatu usaha emansipasi, yakni emansipasi politik. Dikatakan sebagai emansipasi politik oleh karena tujuannya adalah untuk memperoleh kesamaan hak-hak politik dari negara-negara bekas jajahannya, seperti misalnya hak atas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat. Dasawarsa 1960-an dan 1970-an adalah merupakan tahap akhir dari emansipasi politik mereka, sebab sebagian besar wilayah-wilayah jajahan telah memperoleh kemerdekaan dan berdiri sebagai negara merdeka.
Implikasi dari emansipasi politik ini terhadap perkembangan hukum internasional antara lain adalah menjadi sangat populernya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang menunjang emansipasi politik tersebut. Sebenarnya dasar-dasar bagi emansipasi politik itu sudah dikumandangkan dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara (Montevideo Convention on Rights and Duties of States) maupun di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping itu tidak kalah pentingnya –oleh karena itu patut dikemukakan- adalah Konferensi Asia Afrika di Bandung yang diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 yang telah berhasil diletakkan dasar-dasar baru bagi kebangkitan negara-negara di dunia maupun bagi bangsa-bangsa yang masih terjajah. Yang lebih di kenal dengan nama Dasasila Bandung 27) Berkat pengaruh dari Dasasila Bandung ini yang momentumnya memang sangat tepat, maka banyaklah wilayah-wilayah jajahan memperoleh kemerde-kaannya.
Akan tetapi perlu disadari bahwa keberhasilan bangsa-bangsa itu memperoleh hak-hak politiknya, barulah merupakan tahap awal atau permulaan dari perjuangan selanjutnya yaitu emansipasi ekonomi. Sebagai bangsa yang berabad-abad berada di bawah kekuasaan kolonial mengakibatkan mereka berada dalam suasana keterbelakangan politik maupun ekonomi. Meskipun kini mereka telah memperoleh hak-hak maupun kemerdekaan politiknya, namun hak-hak dan kemerdekaan ekonominya masih perlu diperjuangkan dan diwujudkan dalam rangka memberi isi, arti dan makna bagi kemerdekaan politiknya itu.
Seperti diketahui bahwa masalah ekonomi pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya pada masa kini tidak lagi hanya bisa diatasi oleh negara itu masing-masing, melainkan di-butuhkan kerjasama internasional. Terutama sekali mengingat kesaling-ketergantungan yang semakin intensif antara negara-negara di dunia, tiada satu negarapun bisa hidup dengan mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Tentu saja hal ini membutuhkan pengaturan secara internasional pula dalam bentuk peraturan-peraturan hukum dalam bidang perekonomian internasional. Pengaturan ini perlu demi terwujudkan hak-hak ekonomi (economic right), terutama hak-hak ekonomi dari negara-negara baru mereka, supaya bisa sejajar dengan negara-negara maju. 28)
Implikasi dari perjuangan dan emansipasi ekonomi dari negara-negara baru merdeka itu atau lebih populer dengan sebutan negara-negara berkembang (developing countries) adalah semakin tampaklah sekarang arti pentingnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum ekonomi internasional (internasional economic law). Dewasa ini dan juga pada masa-masa yang akan datang, arti dan peranan hukum ekonomi internasional semakin bertambah penting, terutama dalam menata kembali struktur perekonomian internasional yang sekarang tampak sangat pincang dan berat sebelah.
Dari apa yang telah diuraikan secara panjang lebar di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, yakni:
a.       Polarisasi masyarakat internasional (bangsa-bangsa) pada masa 1907-1945 yaitu selama tahap konsolidasi bagi negara-negara kolonial dan tahap memperjuangkan hak hidup bagi bangsa-bangsa terjajah, dunia terpolarisasikan menjadi negara-negara atau bangsa-bangsa penjajah pada satu pihak dan wilayah-wilayah atau bangsa-bangsa terjajah pada lain pihak.
b.      Setelah Perang Dunia II, dengan lahirnya negara-negara baru merdeka atau yang lebih populer dengan sebutan negara-negara berkembang, dunia terpolarisasikan menjadi kelompok negara-negara kolonial dan kelompok negara-negara baru merdeka. Dengan polarisasi ini berarti negara-negara baru merdeka yang hampir seluruhnya merupakan bekas wilayah jajahan, telah berhasil dalam memperjuangkan hak hidupnya maupun emansipasinya yakni dengan diperolehnya hak-hak politik seperti misalnya hak atas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat, meskipun pada saat itu masih ada sebagian wilayah-wilayah jajahan yang belum memperoleh kemerdekaannya. Oleh karena itu, implikasi dari perjuangan politik mereka itu terhadap perkembangan hukum internasional adalah sangat besar. Demikian pula arti dan peranan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang bertalian dengan hak-hak politik tersebut juga tidak kurang arti pentingnya. Muncul dan populerlah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berkenaan dengan hak asasi negara seperti misalnya, hak atas kedaulatan, kesamaan derajat, hak atas kemerdekaan, hak atas kemajuan ekonomi, hak atas suara yang sama dan lain sebagainya.
c.       Dari polarisasi seperti tersebut diatas, ternyata di dalamnya terkandung perbedaan yang cukup mendasar yakni perbedaan dalam tingkat kemajuan ekonominya. Negara-negara kolonial yang sebagian besar merupakan negara-negar maju, sudah menikmati tingkat kemajuan ekonomi yang sangat baik sedangkan negara-negara baru merdeka harus mulai membenahi perekonomiannya dari awal. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini, melahirkan polarisasi baru yaitu kelompok negara-negara maju (developed countries) pada satu pihak dan kelompok negara-negara baru merdeka atau yang lebih populer dengan sebutan negara-negara sedang berkembang (developing countries). Kepincangan tingkat kemajuan ekonomi antara kedua kelompok negara-negara tersebut, merupakan kepincangan struktural yang harus dirombak dan diperbaiki dengan melakukan perombakan struktural atas struktur perekonomian internasional tersebut. Implikasinya terhadap perkembangan hukum internasional adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berkenaan dengan masalah perekonomian internasional memegang peranan penting dalam mengatur, menata dan mengarahkan bahkan merombak kepincangan struktural tersebut demi terwujudnya suatu tata ekonomi internasional baru (new internasional economic order). 29)
d.      Kelahiran negara-negara baru tersebut, yang sebelumnya yaitu ketika masih merupakan wilayah jajahan hanyalah sebagai objek hukum internasional, kini menjadi subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional yang kedudukannya sama derajat antara satu dengan yang lain, berarti pula bertambahnya jumlah subjek hukum internasional. Sebagai konsekuensinya negara-negara baru itu pada prinsipnya tunduk pada hukum internasional yang sudah ada sebelumnya yang notabene berasal dari negara-negara maju dikawasan  Eropa dan Amerika. Namun di samping itu, negara-negara baru itu pun juga ikut serta secara aktif dalam proses pembentukan hukum internasional baru baik bersifat khusus, regional maupun umum. Keikutsertaan negara-negara baru merdeka atau negara-negara sedang berkembang itu dalam perundingan dan konferensi-konferensi internasional multilateral, sudah tentu pula dengan peranan yang aktif, akan dapat memberikan warna dan corak tersendiri atas lahirnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional baru yang lebih menjamin rasa keadilan, khususnya bagi negara-negara berkembang.
3.3.2.           Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Erat hubungannya dengan tingkat kemajuan ekonomi tersebut adalah kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat terutama setelah Perang Dunia II. Dikatakan mempunyai hubungan erat oleh karena pokok pangkal dari kepincangan struktur perekonomian internasional, terutama antara kelompok negara-negara sedang berkembang, terletak pada perbedaan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.30) dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, negara-negara maju dapat lebih mudah meningktkan kemajuan ekonominya, sedangkan negara berkembang yang tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya masih rendah semakin jauh ketinggalan.
Pada lain pihak, teknologi sebagai produk dari ilmu pengetahuan dapat menimbulkan berbagai permasalahan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Permasalahan yang ditimbulkan atau mungkin akan ditimbulkannya, tentu saja sangat membutuhkan pengaturan baik pada tingkat nasional maupun internasional. Dengan perkataan lain, campur tangan dari hukum (nasional dan internasional) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini sangat dibutuhkan. Atau ditinjau dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, dapat pula dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong perkembangan hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya. Beberapa contoh mengenai prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya dalam bidang hukum laut internasional, hukum angkasa, hukum humaniter internasional dan lain-lainnya. 31)
3.3.3.           Penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia.
Penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia yang bersumber pada falsafah individualisme dan dijabarkan lagi dalam bentuk ide-ide, konsep-konsep terutama segelah Perang Dunia II telah mendapat tempat pengaturannya dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. 32) Disamping itu juga, negara-negara pun di dalam hukum nasionalnya memberikan tempat pengaturan tersendiri mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia ini 33) baik dalam konstitusinya maupun dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Dengan pengaturan secara internasional ini, berarti indvidu atau perorangan oleh hukum internasional dapat diberikan hak-hak dan sekaligus dapat pula dibebani kewajiban-kewajiban secara langsung. Jadi kedudukan individu dalam batas-batas tertentu adalah sebagai subjek hukum internasional.
Selain dari pada itu kaidah-kaidah hukum internasional yang menempatkan individu sebagai subjek hukum internasional yaitu dengan membebani kewajiban-kewajiban secara langsung atas tindakan-tindakannya, misalnya konvensi Den Haag 1970 34) dan konvensi Montreal 1971 35) yang menegaskan bahwa si pelaku pembajakan pesawat udara dapat diadili oleh setiap negara. Hal ini berarti, tindakan terhadap pembajakan pesawat udara merupakan pelanggaran terhadap kaidah hukum internasional. Oleh karena itulah individu yang melanggar hukum internasional harus mempertanggung jawabkan sendiri tindakannya itu. Hanya saja untuk mengadili dan menghukumnya, diserahkan sepenuhnya pada masing-masing negara dengan menerapkan hukum (pidana) nasionalnya sendiri. Dengan kata lain, hukum internasional melimpahkan kepada hukum nasional. 36)
Contoh lain dimana hukum internasional menmpatkan individu sebagai subjek hukum internasional dan membebani tanggung jawab langsung kepada individu itu atas tindakannya secara internasional adalah proses peradilan atas penjahat perang oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg dan Tokyo pada tahun 1946. Individu yang diklasifikasikan sebagai penjahat perang dituduh telah melanggar kaidah hukum internasional yang sangat fundamental yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. 37)
Jadi dengan semakin banyaknya kaidah-kaidah yang menempatkan individu sebagai subjek hukum internasional maka jenis dari subjek hukum internasional itu sendiri semakin bertambah banyak. Sudah barang tentu, demikian pula halnya dengan jumlah dan macam dari kaidah-kaidah hukum internasional itu sendiri juga bertambah banyak dan bertambah luas pula ruang lingkupnya.
3.3.4.           Munculnya organisasi-organisai internasional
Kerjasama internasional dewasa ini tidak cukup hanya dengan melalui hubungan-hubungan bilateral maupun multilateral. Cara lainnya yang kini semakin populer dan mampu memenuhi keinginan masyarakat internasional adalah dengan melembagakan kerjasama itu yakni dengan membentuk atau mendirikan organisasi internasional sebagai manifestasi kerjasama internasional, sudah terjadi jauh sebelum meletusnya Perang Dunia II bahkan sebelum meletusnya Perang Dunia I.
Terutama setelah Perang Dunia II, munculnya organisasi internasional semakin bertambah banyak baik yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun diluarnya, baik yang bercorak khusus maupun regional. Sebagian dari organisasi internasional itu telah memiliki kepribadian internasional (international personality atau international legal personality) dan oleh karena itu mampu memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional. 38)
Disamping itu pula organisasi internasional dewas ini dalam batas-batas tugas dan wewenangnya telah mampu menciptakan dan membentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional baik yang berlaku khusus di kalangan anggota organisasi internasional itu sendiri maupun yang dapat berkembang menjadi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku umum atau universal. Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang lahir dari organisasi-organisasi internasional yang dituangkan dalam bentuk keputusan-keputusannya boleh dipandang memiliki derajat dan daya mengikat yang sama dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya. 39)
Itulah antara lain yang menjadi dasar pertimbangan dari para sarjana untuk menempatkan keputusan-keputusan organisasi internasional sebagai salah satu sumber dari hukum internasional formal disamping sumber-sumber lainnya. Hal ini jelas merupakan suatu perkembangan baru dalam hukum internasional sebab dengan keputusan yang berisikan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional, organisasi itu –walaupun tidak semuanya- kini berkedudukan sebagai badan pembentuk hukum internasional (international law making body).
3.3.5.      Semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia serta kebutuhannya yang semakin meningkat.
Penduduk  dunia yang sebelum Perang Dunia I dan II jumlahnya masih seimbang dengan luas bumi dan persediaan sumber daya alamnya untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, kini mulai menunjukkan ketidak-seimbangan. Penduduk dunia yang pertambahannya semakin lama semakin bertambah cepat, tentu saja semakin meningkat pula kebutuhannya atas ruang tempat bermukim dan melangsungkan kehidupannya, sementara ruang itu sendiri tetap saja dari dahulu sampai kini. Demikian pula sumber daya alam yang terkandung dalam bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup umat manusia, relatif tidak mengalami pertambahan.
Semakin banyak jumlah penduduk dunia, semakin banyak sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam beberapa hal, se-



BAB XIII
YURIDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

1.    ASAL KATA DAN PENGERTIAN YURIDIKSI
Kata “yuridiksi” dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, “juridiction”. Sedangkan istilah juridiction dalam bahasa inggris itu sendiri sebenarnya dikutip atau diadopsi dari bahasa latin yaitu “yurisdictio”. Kata yurisdictio, sebenarnya terdiri dari dari dua kata yaitu, kata “yuris” dan kata “dictio”. Kata “yuris” berarti “kepunyaan hukum” atau “kepunyaan menurut hukum” dan kata “dictio” berarti “ucapan”, “sabda”, “sebutan”, “firman”. 1)
Jadi, juridictio, juridiction atau yuridiksi berarti:
-          “kepunyaan” seperti yang dikatakan atau ditentukan oleh hukum
-          “hak” menurut hukum;
-          “kekuasaan” menurut hukum;
-          “kewenangan” menurut hukum.
Jadi secara singkat dan sederhana, yuridiksi berarti, kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum, atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”, dengan kata lain; hak, kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum. Di dalamnya tercangkup “hak”, “kekuasaan” dan “kewenangan”. Yang penting untuk ditekankan disini adalah hak, kekuasaan dan kewenangan itu harus berdasarkan atas hukum. Bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan pada kekuatan.
Namun, pembahasan tentang arti kata yuridiksi secara harfiah seperti tersebut di atas, belumlah memadai untuk dijadikan sebagai titik tolak pembahasan tentang yuridiksi dalam hukum internasional pada khusunya. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila dalam pembahasan tentang yuridiksi ini di ketengahkan pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian, isi dan ruang lingkup dari yuridiksi ini.
Menurut A.S. Hornby , E.V. Gatenby H. Wakefield, 2) dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, second Edition, Oxford University Press, London, 1973, halaman 532 kata “juridiction” diartikan sebagai:
-          Administration of justice;
-          Legal authory;
-          Right to exercize this;
-          Extent of this
Di dalam encyclopedia Americana 3) International Edition, volume 16, Grolier Incorporated, 1984, halaman 238, diuraikan tentang arti kata “juridiction” (yuridiksi), sebagai berikut:
“Juridiction” in law, a term for power or authory. It is usually applied to courts and quacy judicial bodies, describing the scope of their right to act. As applied to a state or nation, the term means the authority to declare and enforce the law”.
       Kiranya kutipan diatas sudah cukup memberikan gambaran ringkas dan umum tentang arti, isi dan ruang lingkup yuridiksi tersebut. Pada dasarnya, yuridiksi berkaitan dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya tercakup pula batas-batas atau luasnya ruang lingkup kekuasaan atau kewenangan itu untuk membuat, melaksanakan atau menerapkan hukum yang berlaku maupun untuk memaksakannya kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya.
       Jika kata “yuridiksi” itu dikaitkan dengan “negara” atau bangsa, seperti dikatakan oleh Encyclopedia Americana tersebut diatas, maka “yuridiksi negara” itu berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri. Dalam pengertian ini, yuridiksi negara tersebut barulah merupakan pengertian yang umum dan luas.



0 komentar:

Posting Komentar