BAB III
KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL
1.
HUKUM
INTERNASIONAL PADA JAMAN KUNO
Dalam
pengertian luas, usia hukum internasional itu sudah cukup tua. Dalam lingkungan
kebudayaan Yunani Kuno dan juga Romawi Kuno, sudah dikenal konsep-konsep hukum
internasional dan beberapa diantaranya masing dianut pada jaman modern sekarang
ini. Ajaran Hukum Alam seperti telah dibahas di muka, berasal dari Jaman Yunani
dan masih tetap berpengaruh sampai pada Jaman Romawi Kuno. Juga pranata-pranata
hukum tentang perwasiatan (arbitrase), diploma dan konsul sudah dipraktekkan
pada jaman Yunani Kuno. 1)
Sedangkan pada
jaman Romawi Kuno, di samping ajaran Hukum Alam, juga dikenal apa yang disebut
deng jus gentium. Ruang lingkup dari jus gentium ini di samping mencangkup
kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan antara bangsa Romawi dengan orang
bukan Romawi. Selain dari pada itu, konsep-konsep dan asas-asas hukum Romawi
juga telah diterima menjadi asas-asas hukum internasional. Misalnya tentang
cara-cara memperoleh tambahan wilayah bagi suatu negara maupun cara-cara
kehilangan wilayah, diambil oper dari hukum Romawi tentang cara-cara memperoleh
dan kehilangan hak milik. Demikian pula dengan hak servitut, asas itikad baik,
asas pacta sunt servanda dan lain-lainnya. 2)
Lingkungan
kebudayaan lain yang juga telah memberikan sumbangan besar bagi hukum
internasional adalah kebudayaan Byzantium. Sumbangan Byzantium misalnya dalam
bidang diplomasi dan hukum diplomarikdan konsuler. Sedangkam kebudayaan India
Kuno dan Cina Kuno (Keduanya di Asia) jugate;ah mengenal benih-benih dan
konsep-konsep hukum interasional yang juga memberikan sumbangan bagi lahirnya
hukum internasional, misalnya hubungan hukum antara raja-raja ata
kerajaan-kerajaan, tentang hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan bagi para
utusan.3)
Lingkungan
kebudayaan Yahudi telah memberikan sumbangan bagi hukum internasional, seperti
misalnya tentang pembuatan perjanjian-perjanjian, perlakuan terhadap
sebagaimana terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama (Old Testament)
2.
HUKUM
INTERNASIONAL PADA ABAD PERTENGAHAN
Struktur
masyarakat eropa pada abad Pertengahan tidal memungkinkan hukum internasional
untuk berkembang. Sebagaimana diketahui, pada abad pertengahan yang juga
disebut abad gelap (dark-ages) masyarakat eropa berada dibawah satu kesatuan
besar Imperium Romawi besar, sehingga tidak ada kesempatan bagi tumbuh dan
berkembangnya wilayah-wilayah yang berada dibawah Imperium Romawi itu
mengadakan hubungan-hubungan hukum secara mandiri dan sama derajat antara satu
dengan lainnya. 5)
Selain daripada
itu, sangat besarnya wibawa dan pengaruh Gereja pada masa itu dengan ajaran
Ketuhanannya, dimana hukum dipandang berasal dari Tuhan, sama sekali tidak
memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan hukum (internasional) pada
masa itu. Masyarakat Eropa pada masa itu seolah-olah terkungkung dalam
kegelapan dengan struktur di bawah penguasa tunggal (rohani dan duniawi) yakni
Gereja. 6)
Keadaan seperti
inilah yang sangat merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional,
sebab kondisi seperti diuraikan di atas sama sekali tidak memberikan kesempatan
bagi negar-negara kecil untuk mengadakan hubungan secara bebas yang akan
melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
3.
HUKUM
INTERNASIONAL PADA MASA ABAD KE-16, 17, 18, 19 DAN AWAL ABAD KE-20
3.1
Masa 1648-1907
(Tahap memperjuangkan Hak Hidup. 7)
Abad ke-16 yang
boleh dikatakan sebagai abad kebangkitan kembali benua Eropa serta semakain
merosotnya pengaruh Abad Pertengahan, memberikan angin baru bagi pertumbuhan
dan perkembangan hukum internasional. Perang Tiga Puluh yang merombak struktur
masyarakat Eropa sebagai kelanjutan dari keruntuhan Imperium Romawi dan
merosotnya pengaruh Gereja, mencapai titik kulminasinya dalam Perjanjian
Perdamaian Westphalia pada tahun 1648. 8)
Perjanjian
Perdamaian Westphalia ini dapat pula dikatakan sebagai titik balik bagi
perkembangan masyarakat internasional (negara-negara) dan hukum internasional.
Dikatakan demikian, oleh karena di dalam Perjanjian Perdamaian Westphalia ini
telah diletakkan dasar-dasar bagi terbentuknay masyarakat internasional baru
yang sangat berbeda dengan masyarakat internasional pada masa sebelumnya. Tata
masyarakat internasional bari ini sudah tentu merupakan kondisi yang sangat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional baru. Oleh karena
semenjak itu, mulai muncul negara-negara kebangsaan yang bercorak teritorial
(kewilayahan) dan berdasarkan pada prinsip-prinsip kemerdekaan., kedaulatan dan
kesamaan derajat. Hubungan antara negara-negara tersebut, tunduk pada
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
Dengan
cara-cara itu, tampaklah bahwa hukum internasional mulai mendapat tempat yang
selayaknya menampakkan diri. Sebagai bidang hukum yang mulai tumbuh, -“walaupun
prinsip-prinsipnya sudah tertanam pad lingkungan-lingkungan kebudayaan Jaman
Kuno” – sudah tentu pada masa sesudah tahun 1648 itu hukum internasional belum
menemukan bentukknya yang pasti. Boleh dikatakan hukum internasional pada masa
itu masih berada dalam tahap mencari bentuk dan isinya. 9)
Dalam tahap
ini, sudah sudah tentu masih terdapat banyak masalah yang belum ada
pengaturannya ataupun peraturan hukumnya masih belum jelas. Dalam kondisi
seperti ini, orang berpaling kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
yang berlaku atau pernah berlaku pada masa sebelumnya yang pernah dianut dan di
praktekkan dalam berbagai lingkungan sosial budaya, seperti misalnya
Yunani, Romawi, Byzantium, Yahudi dan lain-lainnya.
Disamping itu
pula, dalam kondisi seperti ini orang pun berpaling pada pemikir. Pendapat dan
pandangan mereka tentang suatu masalah menjadi amat penting nilainya oleh
karena mereka dipandang mampu melihat dan menunjukkan upaya pemecahan serta
menyelesaikannya secara adi dan obyektif. Pendapat mereka menjadi sangat
dominan dan berpengaruh, terutama dalam memberikan makna dan isi atau suatu
masalah maupun pengaturan atas masalah tersebut. Namun demikian, tidaklah
jarang pendapat para sarjana tersebut
bertentangan satu dengan lainnya. Dalam suasana pertentangan ataupun perbedaan
pendapat tersebut, bisa jadi akan muncul suatu modifikasi baru yang nantinya
dapat menjelma menjadi hukum internasional positif. Atau, mungkin pula pendapat
sarjana yang satu dianut dan perkembangan menjadi hukum internasional positif sedangkan
pendapat sarjana yang lain ditinggalkan. 10)
Pada umumnya
para sarjana atau penulis hukum internasional itu digolongkan ke dalam tiga
kelompok besar: 11)
1.
Para sarjana
sebelum masa Grotius
2.
Para sarjana
pengikut Grotius
3.
Para sarjana
sudah Grotius
Grotius atau Hugo de Groot tampil sebagai garis pembeda bagi
kalangan sarjana atau penulis hukum internasional pada jamannya. Hal ini
disebabkan oleh karena dia memainkan peranan yang sangat monumental bagi
perkembangan hukum internasional. Dia menciptakan suatu masa transisi di mana
dia tidak hanya semata-mata tunduk pada jamannya, tetapi dia juga menjadi
pencipta dan induk pada jaman sesudahnya. Dikatakan sebagai anak atau produk
dari jamannya, oleh karena dia tidak bisa lepas dari pengaruh pada jaman yang
mewarnainya, khususnya yang menyangkut pendapat dan pandangannya. Dikatakan
sebagai induk dari jamannya dan jaman sesudahnya, oleh karenanya dia sudah
mampu mewarnai maupun memberi corak tersendiri jaman tersebut sehingga tampak
berbeda dengan jaman sebelunya. 12)
Jasa Grotius yang penting adalah keberaniannya untuk
mensekulerisasikan atau memurnikan ajaran Hukum Alam dengan mengeluarkan
unsur-unsur atau pengaruh Ketuhanan. Dalam beberapa hal Grotius pun telah
meletakkan dasar-dasar bagi lahirnya ajaran Hukum Positif. Sehingga ada para
sarjana yang menganggap Grotius mengkombinasikan ajaran Hukum Alam dengan
ajaran Hukum Positif.
Jasanya yang cukup monumental adalah menyusun suatu sistematika
secara ilmiah tentang hukum internasional menjadi dua golongan besar yaitu
hukum internasional bagian perang dan hukum internasional bagian damai yang
dituangkan dalam karyanya yang berjudul “De jure Belli ac Pacis” (Tentang Hukum
Perang dan Damai). Sistematika Groticus ini pada jamannya memang merupakan
suatu karya gemilang dan cukup berpengaruh di kalangan sarjana hukum
internasional.
Berbeda dengan Groticus, para penulis pada masa sebelumnya masih
diwarnai dan dipengaruhi oleh ajaran Hukum Alam. Ciri-cirinya antara lain,
belum dipisahkannya antara moral, agama dan hukum.
Mereka itu misalnya:
1.
Francisco
Vittoria (Spanyol) yang menulis buku Reflectico de Indies yang membahas tentang
hubungan antara Spanyol dan Portugal pada satu pihak dengan orang-orang Indian
di benua Amerika.
2.
Francisco
Suarez yang menulis buku berjudul De Legibus ac de Legislatore yang membahas
peranan Tuhan sebagai pembuat Hukum.
3.
Balthazar Ayala
4.
Alberico
Gentilis
Sedangkan para penulis sesudah Grotius, dipengaruhi oleh ajaran
Hukum Positif. Mereka sudah memisahkan antara Tuhan/agama, moral dan hukum.
Mereka berpijak pada realitas negara-negara.
Para penulis sesudah Grotius itu, antara lain:
1.
Zouche
(1590-1660), seorang guru besar hukum perdata di Oxford
2.
Pfufendorf
(1632-1694), seorang guru besar pada Universitas Heidelberg
3.
Cornelis von
Bynkershock (1673-1743) seorang yurist berkebangsaan Belanda
4.
Christian Wolf
(1609-1764), seorang yurist filsuf dari Jerman
5.
Von Martens
(1756-1821), seorang guru besar berkebangsaan Jerman
6.
Emerich de
Vattel (1714-1767), seorang yurist dan Diplomat Swiss
Pendapat dan pandangan para penulis seperti yang dituangkan dalam
karyanya itu., walaupun tidak persis sama antara satu dengan yang lainnya
mengenai sesuatu hal tetapi telah memberikan warna dan pengaruh tersendiri bagi
pertumbuhan hukum internasional pada masa itu. Pranata-pranata hukum tertentu,
tidak jarang yang tumbuh dan melembaga berkat pandangan dari para sarjana
tersebut.
Semakin mapannya eksistensi negara-negara nasional (kebangsaan)
dengan batas-batas wilayah atau teritorial yang pasti serta hidup berdampingan
secara damai dalm suasana merdeka, berdaulat dan sama derajat, pada pihak
ternyata mampu mengendalikan negara-negara untuk tidak menyelesaikan sengketa
dengan car kekerasan. Pada lain pihak juga mendorong mereka untuk menyelesaikan
sengketa dengan jalan damai melalui perundingan.
Lahirlah kemudian cara-cara penyelesaian sengketa melalui
perundingan, komperensi dan kongres-kongres internasional. 13) Dalam
perkembangan selanjutnya konferensi-konferensi itu tidak saja berfungsi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa intenasional tetapi juga sebagai sarana
untuk membentuk kaidah-kaidah hukukm internasional mengenai suatu masalah
tertentu. Konferensi-konferensi internasional itu membentuk atau melahirkan
kaidah-kaidah hukum internasional mengenai masalah tertentu yang berbentuk konvensi-konvensi.
Sebagai contoh misalnya, konferensi perdamaian Den Haag ! tahun 1899 dan
konferensi perdamaian Den Haag II tahun 1907yang menghasilkan kaidah-kaidah
hukum yang menjadi dasar-dasar hukum perang internasional yang yang dalam era
sekarang ini berkembang menjadi hukum humaniter internasional. 14) Demikian
juga sekitar abad ke 19telah lahir lembaga-lembaga internasional seperti
misalnya, Palang Merah Internasional berkat jasa-jasa dari Hendry Dunant, juga
international Telecomunication Organisation yang sekarang menjelma menjadi
Internasional Telecomunication Union (ITU) dan lain-lain. 15)
3.2
Masa
antara 1907-1945 (Tahap konsolidasi bagi negara-negara kolonial dan tahap memperjuangkan hak hidup
bangsa-bangsa terjajah)
Keberhasilan
membangun struktur masyarakat internasional modern selama masa 1648-1907 yang
ditandai dengan keberhasilan untuk mempertahankan hak hidup dan eksistensi
negra-negara nasional sebagai kesatuan-kesatuan politik yang merdeka, berdaulat
dan sama derajat serta keberhasilan memperkenalkan konferensi-konferensi
internasional sebagai media untuk membentuk hukum internasional maupun
membentuk lembaga internasional, semakin memantapkan usaha untuk mewujudkan
konsolidasi diri. Berbagai pembenahan sesudah tahun 1907, menunjukkan bahwa masyarakat
internasional yang terdiri atas negara-negara nasional dan lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi internasional semakin menampakkan kedewasaannya.
Namun demikian,
terdapat pula salah satu akses negatif dari tahap konsolidasi ini yaitu usaha saling
merebut pengaruh antara negara-negara terhadap satu dengan lainnya. Usaha
saling memperebutkan pengaruh itu seringkali dilakukan dengan cara-cara
melanggar hukum internasional. Meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914 dan
berakhir pada tahun 1918, merupakan lembaran hitam dalam sejarah perjalanan
kehidupan masyarakat internasional. Perang Dunia I ini hampir saja memporak
porandakan tata kehidupan masyarakat internasional pada masa itu yang
dasar-dasarnya dengan susah payah telah diletakkan pada masa-masa sebelumnya.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia I, satu modal utama yang masih ada dan melekat pada
masyarakat internasional (negara-negara) yakni kesadaran bahwa perang atau
kekerasan bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan dengan belajar
dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, timbullah keinginan-keinginan untuk
mengahpuskan dan mencegah timbulnya perang yang pada hakikatnya hanyalah
sebagai penghancur terhadap eksistensi umat manusia.
Berdirinya Liga
Bangsa-Bangsa (The League of Nations) pada tahun 1919,16) tk lama setelah
berakhirnya Perang Dunia I dengan tujuan yaitu mewujudkan ketertiban, keamanan
dan perdamaian dunia, secara tersimpul dapat pula dipandang sebagai usaha-usaha
mengatur hubungan-hubungan internasional berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum
internasional. Di samping itu dalam batas-batas tertentu Liga Bangsa-Bangsa pun
baik langsung tidak langsung dapat berfungsi sebagai badan pembentuk hukum
internasional. 17)
Demikian pula
dengan pembentukan badan peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional
permanen (Permanent Court of International Justice) 18)yang merupakan salah
satu organ dari Liga Bangsa-Bangsa maupun badan peradilan lain yang sudah ada
atau pernah ada pada masa sebelumnya, dapat diartikan bahwa masyarakat
internasional dalam mengatur hubungan-hubungan internasional.
Pada hakekatnya
, berdirinya organisasi-organisasi internasional adalah sebagai perwujudan dari
kerjasama internasional antara negara-negara untuk mencapai sebuah tujuan
seperti misalnya mencegah peperangan dalam rangka mewujudkan keamanan,
ketertiban dan perdamaian dunia. Hal ini tidaklah berarti bahwa diluar jalur
kelembagaan tersebut tidak ada jalur lain untuk mencapai tujuan serupa.
Perundingan-perundingan bilateral maupun konferensi-konferensi internasional
multilateral masih tetap merupakan jalur yang diandalkan untuk mencapai tujuan.
Seperti halnya Pakta Briand-Kellog (Briand-Kellog Pact) 19) tahun 1928 antara
Prancis dan Amerika Serikat yang juga bertujuan untuk menghapuskan perang, sama
seperti halnya tujuan Liga Bangsa-Bangsa.
Peristiwa
bersejarah lainnya yang patut dicatat dalam sejarah pertumbuhan hukum
internasional adalah konferensi Kodifikasi Hukum Internasional yang di
selenggarakan di Den Haag Negeri Belanda pada tahun 1930 atas prakasa Liga
Bangsa-Bangsa. Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional ini telah menghasilkan
beberapa konvensi internasional yang sangat berarti bagi pertumbuhan hukum
internasional. 20)
Stabilitas
masyarakat internasional (negara-negara) pada masa setelah Perang Dunia I atau
pada masa hidupnya Liga Bangsa-Bangsa ternyata tidak berumur panjang. Perang
Dunia II yang meletus pada tahun 1939 dan disusul Perang Asia Timur Raya pada
tahun 1942, 21) merupakan peristiwa yang kedua kalinya memporak porandakan struktur
masyarakat internasional yang sudah mulai mapan. Belajar dari pengalaman
sebelumnya, maka segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, dibentuklah
Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak jauh berbeda dengan Liga Bangsa-Bangsa. 22)
Perang Dunia
yang terjadi dua kali berselang dalam jangka waktu yang pendek, kalau disimak
dengan seksama sebenarnya hanyalah merupakan lintasan sejarah atau sebagai
gempa besar yang menggoncang struktur dan kehidupan normal dari masyarakat
internasional yang tunduk pada hukum internasional.kedua Perang Dunia itu tidak
sampai merombak ataupun merusak secara total struktir masyarakat internasional.
Masyarakat Internasional kembali pada keadaan semula, bahakan karena belajar
dari pengalaman tersebut, justru sesudah Perang Dunia II itu masyarakat
internasional semakin pasti menuju ke arah kemajuan.
3.3. Masa sesudah Perang
Dunia II hingga sekarang.
(Tahap Emansipasi bagi negara-negara
baru merdeka dan bangsa-bangsa terjajah).
3.3.1.
Lahirnya
negara-negara baru.
Justru setelah
Perang Dunia II (setelah tahun 1945) inilah mulai timbul masa kecerahan bagi
perkembangan masyarakat dan hukum internasional. Dapat dikatakan bahwa, masa
setelah Perang Dunia II merupakan masa timbul atau mulainya tahap baru bagi
masyarakat dan hukum internasional. Dikatakan demikian, oleh karena terjadi
beberap perubahan dan perkembangan baru yang sangat berbeda dengan masa
sebelumnya.
Namun, sebelum
kita lebih lanjut masa sesudah Perang Dunia II, baiklah kita berpaling sejenak
ke belakang yaitu meninjau struktur peta bumi politik duniapada masa lampau
secara menyeluruh. Hal ini sangat penting, sebab apa yang telah diuraikan di
atas, baik pada masa memperjuangkan hak hidup (1648-1907) maupun masa
konsolidasi (1907-1945), semua itu hanyalah berlaku bagi masyarakat internasional
atau negara-negara di kawasan Eropa dan belakangan juga di kawasan Amerika.
Keadaan seperti
tersebut diatas tidak dicerminkan dunia secara menyeluruh. Padahal kita semua
mengetahui bahwa semenjak abad ke 17 sampai pada akhir Perang Dunia II sebagian
besar bangsa-bangsa di kawasan Afrika, Asia dan Pasifik. Dengan demikian
polarisasi yang terjadi pada masa itu adalah dunia tampak terbagi menjadi dua.
Pada satu pihak adalah kelompok bangsa-bangsa atau negara penjajah atau
kolonial yang terdiri atas sebagian besar negara-negar di kawasan Eropa dan
sebagian lagi Amerika. Pada pihak lain adalah kelompok bangsa-bangsa atau lebih
tepat wilayah-wilayah jajahan. 24)
Jika kita
meninjau kembali masa sekitar tahun 1907 sebagai awal dari masa konsolidasi
masyarakat internasional (bagi negara-negara di kawasan Eropa) yang sebelumnya
telah berhasil memperjuangkan dan mempertahankan hak hidupnya (1648-1907), pada
belahan dunia lain khususnya di kawasan Asia dan Afrika serta Pasifik justru
baru muncul usaha-usaha memperjuangkan dan memperoleh kembali hak hidupnya yang
telah berabad-abad dirampas oleh negara-negara kolonial tersebut. Timbulnya
pergerakan-pergerakan nasional di beberapa wilayah jajahan untuk memperoleh
kemerdekaan yang mulai muncul pada awal abad ke 20 sampai berakhirnya Perang
Dunia II dan beberapa tahun sesudahnya, menunjukkan bahwa barulah pada masa
tersebut mereka berada pada tahap memperjuangkan hak hidupnya.
Barulah pada
masa setelah Perang Dunia II sampai pada tahun 1960-an sebagian besar
wilayah-wilayah jajahan tersebut memperoleh kemerdekaan dan mulai berdiri sebagai
negara-negar merdeka, sederajat dan sama kedudukannya dengan negara-negara
bekas jajahannya. Dengan demikian, masa antara 1907-1945 dan 1960-an, bagi
negara-negara baru di kawasan Asia dan Afrika serta Pasifik tersebut barulah
merupakan masa memperjuangkan hak-haknya yaitu hak hidup sebagai negara
merdeka. Maka kalau kita amati sekali lagi peta bumi politik dunia, khususnya
setelah Perang Dunia II tampaklah bahwa sudah terjadi perubahan besar yaitu
dengan munculnya negara-negara merdeka di kawasan Asia, Afrika dan Pasifik.
Namun patut
dicatat pula, bahwa pada masa tersebut negara-negara baru iti barulah berhasil
memperoleh hak-hak politiknya saja. Sedangkan secara ekonomi, ketergantungan
mereka pada kekuatan ekonomi negara-negara kolonial masih sangat besar. Dengan
kata lain, kolonialisme atau penjajahan politik memang sudah mulai berakhir pada
masa itu, tetapi kolonialisme atau penjajahan ekonomi masih berlangsung terus.
Meskipun
demikian, dengan munculnya negara-negara baru di ketiga kawasan tersebut
menampakkan bahwa peta bumi politik dunia sudah mengalami perubahan yang cukup
fundamental. Hal ini sudah barang tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan hukum internasional. Oleh karena itulah, maka memasuki era setelah
Perang Dunia II dan sesudahnya titik fokus pandangan dan kawasan kita tidak
lagi hanya ke kawasan Eropa dan Amerika melainkan haruslah global yakni penjuru
dunia.
Bagaimana
halnya dengan ketaatan dan tunduknya negara-negara baru itu terhadap hukum
internasional? Pertanyaan inimenjadi relevan bagi negara-negara baru tersebut,
oleh karena sebagai negara baru merdeka, apakah mereka harus tunduk begitu saja
pada hukum internasional itu atau tidak? Apakah mereka hanya sebagai penerima
yang pasif saja terhadap hukum internasional yang sudah ada dan berlaku
sebelumnya yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh negara-negara Eropalah
yang notabene adalah negara-negara bekas penjajahan.
Sebagai
negara-negara baru merdeka, mereka tentu saja tidak begitu saja menolak secara
total prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang memang sudah
ada sebelumnya. Sebaliknya juga tidak begitu saja mentaatinya dengan membabi
buta, sebab ada saja kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah tidak sesuai
lagi dengan kepentingan mereka. Sikap kritis maksudnya adalah sikap menerima
hukum internasional itu tetapi dengan selalu menganalisis sejauh mana
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang lama itu masih
dipertahankan ataukah harus diadakan perubahan. Sikap korektif, maksudnya
adalah menilai dan mengoreksi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional yang mana yang masih dapat dipertahankan dan yang mana yang perlu
diubah dan diganti dengan yang baru. Sikap konstruktif maksudnya merombak atau
mengganti prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional itu dalam
rangka mewujudkan masyarakat dan hukum internasional yang dicita-citakan.
Dengan
sikap-sikap seperti tersebut di atas, negara-negara baru merdeka 26) tersebut
akan dapat bersama-sama dengan negara-negara maju melakukan perubahan dan
perbaikan bahkan mengembangkan masyarakat dan hukum internasional menuju kearah
yang di cita-citakan. Selama ini tampaknya sikap ini sampai derajat tertentu
memang sudah di jalankan dan dalam kenyataan telah menghasilkan banyak
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru. Hal ini
terbukti dengan semakin banyaknya dan semakin canggihnya prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum internasional yang timbul terutama setelah Perang Dunia II.
Masa setelah
Perang Dunia II hingga sekarang ini, cukup tepat apabila dikatakan tahap
emansipasi masyarakat internasional, khususnya emansipasi dari negara-negara
baru merdeka. Sebenarnya, dengan timbulnya pergerakan-pergerakan untuk
memperjuangkan kemerdekaan itu sendiri sudah merupakan suatu usaha emansipasi,
yakni emansipasi politik. Dikatakan sebagai emansipasi politik oleh karena
tujuannya adalah untuk memperoleh kesamaan hak-hak politik dari negara-negara
bekas jajahannya, seperti misalnya hak atas kemerdekaan, kedaulatan dan
kesamaan derajat. Dasawarsa 1960-an dan 1970-an adalah merupakan tahap akhir
dari emansipasi politik mereka, sebab sebagian besar wilayah-wilayah jajahan
telah memperoleh kemerdekaan dan berdiri sebagai negara merdeka.
Implikasi dari
emansipasi politik ini terhadap perkembangan hukum internasional antara lain
adalah menjadi sangat populernya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional yang menunjang emansipasi politik tersebut. Sebenarnya
dasar-dasar bagi emansipasi politik itu sudah dikumandangkan dalam Konvensi
Montevideo tahun 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara (Montevideo
Convention on Rights and Duties of States) maupun di dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Di samping itu tidak kalah pentingnya –oleh karena itu patut
dikemukakan- adalah Konferensi Asia Afrika di Bandung yang diselenggarakan pada
tanggal 18-24 April 1955 yang telah berhasil diletakkan dasar-dasar baru bagi
kebangkitan negara-negara di dunia maupun bagi bangsa-bangsa yang masih
terjajah. Yang lebih di kenal dengan nama Dasasila Bandung 27) Berkat pengaruh
dari Dasasila Bandung ini yang momentumnya memang sangat tepat, maka banyaklah
wilayah-wilayah jajahan memperoleh kemerde-kaannya.
Akan tetapi
perlu disadari bahwa keberhasilan bangsa-bangsa itu memperoleh hak-hak
politiknya, barulah merupakan tahap awal atau permulaan dari perjuangan
selanjutnya yaitu emansipasi ekonomi. Sebagai bangsa yang berabad-abad berada
di bawah kekuasaan kolonial mengakibatkan mereka berada dalam suasana
keterbelakangan politik maupun ekonomi. Meskipun kini mereka telah memperoleh
hak-hak maupun kemerdekaan politiknya, namun hak-hak dan kemerdekaan ekonominya
masih perlu diperjuangkan dan diwujudkan dalam rangka memberi isi, arti dan
makna bagi kemerdekaan politiknya itu.
Seperti
diketahui bahwa masalah ekonomi pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada
khususnya pada masa kini tidak lagi hanya bisa diatasi oleh negara itu
masing-masing, melainkan di-butuhkan kerjasama internasional. Terutama sekali
mengingat kesaling-ketergantungan yang semakin intensif antara negara-negara di
dunia, tiada satu negarapun bisa hidup dengan mengisolasi diri dari pergaulan
internasional. Tentu saja hal ini membutuhkan pengaturan secara internasional
pula dalam bentuk peraturan-peraturan hukum dalam bidang perekonomian
internasional. Pengaturan ini perlu demi terwujudkan hak-hak ekonomi (economic
right), terutama hak-hak ekonomi dari negara-negara baru mereka, supaya bisa
sejajar dengan negara-negara maju. 28)
Implikasi dari
perjuangan dan emansipasi ekonomi dari negara-negara baru merdeka itu atau
lebih populer dengan sebutan negara-negara berkembang (developing countries)
adalah semakin tampaklah sekarang arti pentingnya prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum ekonomi internasional (internasional economic law). Dewasa
ini dan juga pada masa-masa yang akan datang, arti dan peranan hukum ekonomi
internasional semakin bertambah penting, terutama dalam menata kembali struktur
perekonomian internasional yang sekarang tampak sangat pincang dan berat
sebelah.
Dari apa yang
telah diuraikan secara panjang lebar di atas, dapatlah ditarik beberapa
kesimpulan, yakni:
a.
Polarisasi
masyarakat internasional (bangsa-bangsa) pada masa 1907-1945 yaitu selama tahap
konsolidasi bagi negara-negara kolonial dan tahap memperjuangkan hak hidup bagi
bangsa-bangsa terjajah, dunia terpolarisasikan menjadi negara-negara atau
bangsa-bangsa penjajah pada satu pihak dan wilayah-wilayah atau bangsa-bangsa
terjajah pada lain pihak.
b.
Setelah Perang
Dunia II, dengan lahirnya negara-negara baru merdeka atau yang lebih populer
dengan sebutan negara-negara berkembang, dunia terpolarisasikan menjadi
kelompok negara-negara kolonial dan kelompok negara-negara baru merdeka. Dengan
polarisasi ini berarti negara-negara baru merdeka yang hampir seluruhnya
merupakan bekas wilayah jajahan, telah berhasil dalam memperjuangkan hak
hidupnya maupun emansipasinya yakni dengan diperolehnya hak-hak politik seperti
misalnya hak atas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat, meskipun pada
saat itu masih ada sebagian wilayah-wilayah jajahan yang belum memperoleh
kemerdekaannya. Oleh karena itu, implikasi dari perjuangan politik mereka itu
terhadap perkembangan hukum internasional adalah sangat besar. Demikian pula
arti dan peranan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang
bertalian dengan hak-hak politik tersebut juga tidak kurang arti pentingnya.
Muncul dan populerlah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional
yang berkenaan dengan hak asasi negara seperti misalnya, hak atas kedaulatan,
kesamaan derajat, hak atas kemerdekaan, hak atas kemajuan ekonomi, hak atas
suara yang sama dan lain sebagainya.
c.
Dari polarisasi
seperti tersebut diatas, ternyata di dalamnya terkandung perbedaan yang cukup
mendasar yakni perbedaan dalam tingkat kemajuan ekonominya. Negara-negara
kolonial yang sebagian besar merupakan negara-negar maju, sudah menikmati
tingkat kemajuan ekonomi yang sangat baik sedangkan negara-negara baru merdeka
harus mulai membenahi perekonomiannya dari awal. Perbedaan tingkat kemajuan
ekonomi ini, melahirkan polarisasi baru yaitu kelompok negara-negara maju
(developed countries) pada satu pihak dan kelompok negara-negara baru merdeka
atau yang lebih populer dengan sebutan negara-negara sedang berkembang
(developing countries). Kepincangan tingkat kemajuan ekonomi antara kedua
kelompok negara-negara tersebut, merupakan kepincangan struktural yang harus
dirombak dan diperbaiki dengan melakukan perombakan struktural atas struktur
perekonomian internasional tersebut. Implikasinya terhadap perkembangan hukum
internasional adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang
berkenaan dengan masalah perekonomian internasional memegang peranan penting
dalam mengatur, menata dan mengarahkan bahkan merombak kepincangan struktural
tersebut demi terwujudnya suatu tata ekonomi internasional baru (new
internasional economic order). 29)
d.
Kelahiran
negara-negara baru tersebut, yang sebelumnya yaitu ketika masih merupakan
wilayah jajahan hanyalah sebagai objek hukum internasional, kini menjadi subjek
hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional yang kedudukannya sama
derajat antara satu dengan yang lain, berarti pula bertambahnya jumlah subjek
hukum internasional. Sebagai konsekuensinya negara-negara baru itu pada
prinsipnya tunduk pada hukum internasional yang sudah ada sebelumnya yang
notabene berasal dari negara-negara maju dikawasan Eropa dan Amerika. Namun di samping itu,
negara-negara baru itu pun juga ikut serta secara aktif dalam proses
pembentukan hukum internasional baru baik bersifat khusus, regional maupun
umum. Keikutsertaan negara-negara baru merdeka atau negara-negara sedang
berkembang itu dalam perundingan dan konferensi-konferensi internasional
multilateral, sudah tentu pula dengan peranan yang aktif, akan dapat memberikan
warna dan corak tersendiri atas lahirnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
hukum internasional baru yang lebih menjamin rasa keadilan, khususnya bagi
negara-negara berkembang.
3.3.2.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi
Erat
hubungannya dengan tingkat kemajuan ekonomi tersebut adalah kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat terutama setelah Perang
Dunia II. Dikatakan mempunyai hubungan erat oleh karena pokok pangkal dari
kepincangan struktur perekonomian internasional, terutama antara kelompok
negara-negara sedang berkembang, terletak pada perbedaan tingkat penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi.30) dengan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, negara-negara maju dapat lebih mudah meningktkan kemajuan
ekonominya, sedangkan negara berkembang yang tingkat penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologinya masih rendah semakin jauh ketinggalan.
Pada lain
pihak, teknologi sebagai produk dari ilmu pengetahuan dapat menimbulkan
berbagai permasalahan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Permasalahan yang ditimbulkan atau mungkin akan ditimbulkannya, tentu saja sangat
membutuhkan pengaturan baik pada tingkat nasional maupun internasional. Dengan
perkataan lain, campur tangan dari hukum (nasional dan internasional) terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini sangat dibutuhkan. Atau ditinjau
dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, dapat pula dikatakan
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong perkembangan hukum pada umumnya
dan hukum internasional pada khususnya. Beberapa contoh mengenai
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang timbul sebagai
akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya dalam bidang
hukum laut internasional, hukum angkasa, hukum humaniter internasional dan
lain-lainnya. 31)
3.3.3.
Penghormatan
terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia.
Penghormatan
terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia yang bersumber pada falsafah
individualisme dan dijabarkan lagi dalam bentuk ide-ide, konsep-konsep terutama
segelah Perang Dunia II telah mendapat tempat pengaturannya dalam bentuk
konvensi-konvensi internasional. 32) Disamping itu juga, negara-negara pun di
dalam hukum nasionalnya memberikan tempat pengaturan tersendiri mengenai
hak-hak dan kewajiban asasi manusia ini 33) baik dalam konstitusinya maupun
dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Dengan
pengaturan secara internasional ini, berarti indvidu atau perorangan oleh hukum
internasional dapat diberikan hak-hak dan sekaligus dapat pula dibebani
kewajiban-kewajiban secara langsung. Jadi kedudukan individu dalam batas-batas
tertentu adalah sebagai subjek hukum internasional.
Selain dari
pada itu kaidah-kaidah hukum internasional yang menempatkan individu sebagai
subjek hukum internasional yaitu dengan membebani kewajiban-kewajiban secara
langsung atas tindakan-tindakannya, misalnya konvensi Den Haag 1970 34) dan
konvensi Montreal 1971 35) yang menegaskan bahwa si pelaku pembajakan pesawat
udara dapat diadili oleh setiap negara. Hal ini berarti, tindakan terhadap
pembajakan pesawat udara merupakan pelanggaran terhadap kaidah hukum internasional.
Oleh karena itulah individu yang melanggar hukum internasional harus
mempertanggung jawabkan sendiri tindakannya itu. Hanya saja untuk mengadili dan
menghukumnya, diserahkan sepenuhnya pada masing-masing negara dengan menerapkan
hukum (pidana) nasionalnya sendiri. Dengan kata lain, hukum internasional
melimpahkan kepada hukum nasional. 36)
Contoh lain
dimana hukum internasional menmpatkan individu sebagai subjek hukum
internasional dan membebani tanggung jawab langsung kepada individu itu atas
tindakannya secara internasional adalah proses peradilan atas penjahat perang
oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg dan Tokyo pada tahun 1946.
Individu yang diklasifikasikan sebagai penjahat perang dituduh telah melanggar
kaidah hukum internasional yang sangat fundamental yang menyangkut nilai-nilai
kemanusiaan yang universal. 37)
Jadi dengan
semakin banyaknya kaidah-kaidah yang menempatkan individu sebagai subjek hukum
internasional maka jenis dari subjek hukum internasional itu sendiri semakin
bertambah banyak. Sudah barang tentu, demikian pula halnya dengan jumlah dan
macam dari kaidah-kaidah hukum internasional itu sendiri juga bertambah banyak
dan bertambah luas pula ruang lingkupnya.
3.3.4.
Munculnya
organisasi-organisai internasional
Kerjasama internasional
dewasa ini tidak cukup hanya dengan melalui hubungan-hubungan bilateral maupun
multilateral. Cara lainnya yang kini semakin populer dan mampu memenuhi
keinginan masyarakat internasional adalah dengan melembagakan kerjasama itu
yakni dengan membentuk atau mendirikan organisasi internasional sebagai
manifestasi kerjasama internasional, sudah terjadi jauh sebelum meletusnya
Perang Dunia II bahkan sebelum meletusnya Perang Dunia I.
Terutama
setelah Perang Dunia II, munculnya organisasi internasional semakin bertambah
banyak baik yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun
diluarnya, baik yang bercorak khusus maupun regional. Sebagian dari organisasi
internasional itu telah memiliki kepribadian internasional (international personality
atau international legal personality) dan oleh karena itu mampu memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional. 38)
Disamping itu
pula organisasi internasional dewas ini dalam batas-batas tugas dan wewenangnya
telah mampu menciptakan dan membentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional baik yang berlaku khusus di kalangan anggota organisasi
internasional itu sendiri maupun yang dapat berkembang menjadi prinsip-prinsip
dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku umum atau universal.
Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang lahir dari
organisasi-organisasi internasional yang dituangkan dalam bentuk
keputusan-keputusannya boleh dipandang memiliki derajat dan daya mengikat yang
sama dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya. 39)
Itulah antara
lain yang menjadi dasar pertimbangan dari para sarjana untuk menempatkan
keputusan-keputusan organisasi internasional sebagai salah satu sumber dari
hukum internasional formal disamping sumber-sumber lainnya. Hal ini jelas
merupakan suatu perkembangan baru dalam hukum internasional sebab dengan
keputusan yang berisikan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional,
organisasi itu –walaupun tidak semuanya- kini berkedudukan sebagai badan pembentuk
hukum internasional (international law making body).
3.3.5.
Semakin
bertambahnya jumlah penduduk dunia serta kebutuhannya yang semakin meningkat.
Penduduk dunia yang sebelum Perang Dunia I dan II
jumlahnya masih seimbang dengan luas bumi dan persediaan sumber daya alamnya
untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, kini mulai menunjukkan
ketidak-seimbangan. Penduduk dunia yang pertambahannya semakin lama semakin
bertambah cepat, tentu saja semakin meningkat pula kebutuhannya atas ruang
tempat bermukim dan melangsungkan kehidupannya, sementara ruang itu sendiri
tetap saja dari dahulu sampai kini. Demikian pula sumber daya alam yang
terkandung dalam bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup umat manusia, relatif
tidak mengalami pertambahan.
Semakin
banyak jumlah penduduk dunia, semakin banyak sumber daya alam yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam beberapa hal, se-
BAB XIII
YURIDIKSI NEGARA
DALAM HUKUM INTERNASIONAL
1.
ASAL
KATA DAN PENGERTIAN YURIDIKSI
Kata “yuridiksi” dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari
bahasa Inggris, “juridiction”. Sedangkan istilah juridiction dalam bahasa
inggris itu sendiri sebenarnya dikutip atau diadopsi dari bahasa latin yaitu
“yurisdictio”. Kata yurisdictio, sebenarnya terdiri dari dari dua kata yaitu, kata
“yuris” dan kata “dictio”. Kata “yuris” berarti “kepunyaan hukum” atau
“kepunyaan menurut hukum” dan kata “dictio” berarti “ucapan”, “sabda”,
“sebutan”, “firman”. 1)
Jadi, juridictio, juridiction atau yuridiksi berarti:
-
“kepunyaan”
seperti yang dikatakan atau ditentukan oleh hukum
-
“hak” menurut
hukum;
-
“kekuasaan”
menurut hukum;
-
“kewenangan”
menurut hukum.
Jadi secara singkat dan sederhana, yuridiksi berarti, kepunyaan
seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum, atau dengan singkat
dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”, dengan kata
lain; hak, kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum. Di dalamnya tercangkup
“hak”, “kekuasaan” dan “kewenangan”. Yang penting untuk ditekankan disini
adalah hak, kekuasaan dan kewenangan itu harus berdasarkan atas hukum. Bukan
atas paksaan, apalagi berdasarkan pada kekuatan.
Namun, pembahasan tentang arti kata yuridiksi secara harfiah
seperti tersebut di atas, belumlah memadai untuk dijadikan sebagai titik tolak
pembahasan tentang yuridiksi dalam hukum internasional pada khusunya. Oleh
karena itu, akan lebih baik apabila dalam pembahasan tentang yuridiksi ini di
ketengahkan pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian, isi dan ruang
lingkup dari yuridiksi ini.
Menurut A.S. Hornby , E.V. Gatenby H. Wakefield, 2) dalam The
Advanced Learner’s Dictionary of Current English, second Edition, Oxford
University Press, London, 1973, halaman 532 kata “juridiction” diartikan
sebagai:
-
Administration
of justice;
-
Legal authory;
-
Right to
exercize this;
-
Extent of this
Di dalam encyclopedia Americana 3) International Edition, volume
16, Grolier Incorporated, 1984, halaman 238, diuraikan tentang arti kata
“juridiction” (yuridiksi), sebagai berikut:
“Juridiction”
in law, a term for power or authory. It is usually applied to courts and quacy
judicial bodies, describing the scope of their right to act. As applied to a
state or nation, the term means the authority to declare and enforce the law”.
Kiranya kutipan diatas sudah cukup
memberikan gambaran ringkas dan umum tentang arti, isi dan ruang lingkup
yuridiksi tersebut. Pada dasarnya, yuridiksi berkaitan dengan masalah hukum,
khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau
badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di
dalamnya tercakup pula batas-batas atau luasnya ruang lingkup kekuasaan atau
kewenangan itu untuk membuat, melaksanakan atau menerapkan hukum yang berlaku
maupun untuk memaksakannya kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya.
Jika kata “yuridiksi” itu dikaitkan
dengan “negara” atau bangsa, seperti dikatakan oleh Encyclopedia Americana tersebut
diatas, maka “yuridiksi negara” itu berarti kekuasaan atau kewenangan dari
suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and enforce) hukum
yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri. Dalam pengertian ini,
yuridiksi negara tersebut barulah merupakan pengertian yang umum dan luas.
0 komentar:
Posting Komentar