MUZARA’AH, MUKHABARAH, DAN MUSAQAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah “Fiqih”
Dosen Pengampu:
Saifullah, M. Ag
Disusun
oleh:
1.
Neyla Fatmawati (9322 003 10)
2.
Nina In Kholida (9322 070 10)
3.
Nur Arqom Eka
Fatria (9322 108 10)
JURUSAN TARBIYAH PRODI
TADRIS BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2012
PEMBAHASAN
A. Muzara’ah
1.
Pengertian
Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasana mengelola tanah
dengan mendapatkan sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah Fiqh ialah
pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat
bagi hasil atau semisalnya.[1]
Dalam pengertia lain ada yang menyebutkan,
muzara’ah yaitu paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau
kurang, sedangkan benihnya dari petani ( orang yang menggarap).[2]
2.
Persyari’atan Muzara’ah
عن
نا فع عن عبد ا لله بن عمر : اخبره : أن النبي عامل أهل خيبر بشطر ما يخر ج منها
من تمر أوزرع.
Dari Nafi’ dari
Abdullah bun Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ bahwa Nabi SAW pernah
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau
tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13
no:2329, Muslim XCII:1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah
II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, “Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu
Ja’fat, ia berkata,’Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani
dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah
melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah,
Keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathur Bari
V: 10).
3.
Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah
ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara
rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk
menanam”.[3]
Menurut jamhur ulama ada
empat rukun dalam muzara’ah[4]
a.
Pemilik tanah
b.
Petani penggarap
c.
Objek al-muzaraah
d.
Ijab dan qabul secara
lisan maupun tulisan
Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
a.
Syarat bertalian
dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b.
Syarat yang berkaitan
dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
c.
Hal yang berkaitan
dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan
jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
d.
Hal yang berhubungan
dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
e.
Hal yang berkaitan
dengan waktu dan syarat-syaratnya.
Menurut jumhur ulama (yang
membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan
syarat, maka akibat hukumnya adalah:
a.
Petani bertanggung jawab mengeluarkan
biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
b.
Biaya pertanian seperti pupuk, biaya
perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik
lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
c.
Hasil panen dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama
d.
Pengairan dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan
ditempat masing-masing.
e.
Apabila salah seorang meninggal
dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal
diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh
ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.
4.
Penanggung Modal
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik
tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau di tanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathur Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah
mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar
yang memiliki benih, maka ia mendapatkan separuh dari hasilnya dan jika mereka
yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut
Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan,” Tidak mengapa jika tanah yang
digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua
menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini
juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
5.
Menyewakan tanah dengan uang
Muzara’ah boleh dilakukan dengan uang, makanan, dan lainnya
yang dianggap sebagai harta.
Hanzhalah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij
tentang penyewaan tanah. Dia berkata,”Rasulullah SAW melarangnya. Aku berkata,”
Bagaimana jika dengan emas dan uang?” Dai berkata, “Jika dengan emas dan uang
maka tidak apa-apa.
Ini adalah pendapat Ahmad, sebagian dari para ulama mazhab
Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i, An-Nawawi berkata, “Inilah yang kuat dan
terpilih di antara semua pendapat.”[6]
6.
Muzara’ah yang tidak sah
Telah kita ketahui di atas disebutkan bahwa muzara’ah yang
benar adalah pemberian tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan catatan
bahwa dia akan mendapatkan porsi tertentu dari apa yang dihasilkannya, seperti
setengah, sepertiga, atau sejenisnya. Artinya, bagian pemilik tanah belum
ditentukan.
Apabila bagian pemilik tanah telah ditentukan, misalnya
dibatasi dengan berat tertentu dari apa yang dihasilkan oleh tanah atau
dibatasi dengan luas tertentu dari tanah yang hasilnya adalah bagiannya,
sementara sisanya adalah bagian pekerja atau dibagi di antara keduanya, maka
muzara’ah batal karena di dalamnya terdapat tipu daya dan karena dapat
menimbulkan persengketaan.
Rafi’ bin Khadij berkata, “Kami dulu adalah yang paling banyak
bercocok tanam di antara penduduk Madinah. Kami menyewakan tanah dengan imbalan
salah sati sisinya yang ditentukan untu pemilik tanah. Sering kali sisi yang
itu ditimpa bencana dan sisi yang lain selamat. Dan sering kali sisi yang lain
ditimpa bencana dan sisi yang itu selamat. Kami pun dilarang melakukan itu.
Diriwayatkan juga bahwa Nabi SAW berkata, “Apa yang kalian
perbuat dengan ladang-ladang kalian?” Mereka berkata,”Kami menyewakannya dengan
imbalan apa yang tumbuh di atas saluran air atau dengan imbalan sekian kurma
dan gandum.” Beliau pun bersabda,
للتفعلوا,
ازرعوهاأوأزرعوهاأوأمسكوها.
“Janganlah kalian
melakukan itu. Tanamilah ia, atau berikanlah ia kepada orang lain agar
ditanaminya, atau biarkanlah ia terbengkalai.”
Rafi’ berkata,”Aku berkata,”Kami mendengar dan taat.”
7.
Hikmah Muzara’ah
a.
Terwujudnya kerja sama yang
saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b.
Meningkatnya kesejahteraan
masyarakat.
c.
Tertanggulanginya kemiskinan.
d.
Terbukanya lapangan pekerjaan,
terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani.
B. Mukhabarah
1.
Pengertian
Dalam Fiqih Islami menjelaskan pengertian
Mukhabarah adalah paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga atau lebih atau
kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah. Mukhabarah seperti halnya
juga muzara’ah, dalam blog ismutaqwa ulama Syafi’iyah menjelaskan pengertian
perbedaan dari keduanya sebagai berikut:
“Mukhabarah
adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal
dari pengelola. Adapun muzara’ah sama seperti mukhabarah hanya saja benihnya
berasal dari pemilik tanah”.
2.
Dasar Hukum
Dasar hukum Mukhabarah ini sama dengan
dasar hukum yang digunakan dalam Muzara’ah karena memang pada dasarnya keduanya
tidak memiliki perbedaan yang mendasar kecuali asal benihnya. Namun terdapat
perbedaan pendapat antar ulama terkait mukhabarah ini. dalam Fiqih Islami
dijelaskan terdapat beberapa ulama yang membolehkan, tapi ada juga yang
melarang. Ulama yang melarang mukhabarah ini beralasan pada hadits dalam kitab
hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ
كُنّااَكْثَرَالأَنْصَارِحَقْلاً فَكُنّا نُكْرِى الاَرْضَ عَلَى اَنّ لَنَا
هَذِهِ وَلَهُمْ هَذِهِ فَرُبّمَا اَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ
فَنَهَا نَا عَنْ ذَلِكَ.رواه البخارى
Rafi’
bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka
yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang
lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Melarang paroan dengan
cara demikian.” (Riwayat Bukhari)[7]
Sedangkan ulama yang memperbolehkan
mukhabarah ini diperkuat pendapatnya oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi;
mereka dikatakan telah mengambil alasan dari hadis Ibnu Umar sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنّ النّبِيّ صَلّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَا مَلَ اَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
مِنْ ثَمَرٍاَوْزَرْعٍ. رواه مسلم
Dari
Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil
pertahunan (palawija).” (Riwayat Muslim)[8]
Dalam Fiqhul Islami dijelaskan bahwa hadis
yang melarang ini dimaksudkan apabila penghasilan dari sebagian tanah
diharuskan menjadi milik salah seorang
diantara keduanya (pemilik tanah atau penggarap). Karena orang-orang pada masa
dahulu memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian
tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui.
Keadaan inilah yang dilarang oleh Rasulullah lantaran pekerjaan yang demikian
bukanlah dengan cara adil dan insaf.
Dalam Fiqih Islami tersebut pun juga menegaskan bahwa pendapat tersebut
dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan
orang banyak.
C. Musaqah
1.
Pengertian
Musaqah menurut bahasa berarti
memberi minum, sedangkan menurut istilah adalah:
“suatu akad penyerahan pepohonan
kepada orang yang mau menggarapnya dengan ketentuan hasil buah-buahan dibagi
diantara mereka berdua”[9]
Musaqah (paroan kebun) adalah kerjasama
antara pemilik kebun dan tukang kebun, dimana pemilik kebun mempersilahkan
tukang kebun untuk memeliharanya, sedang penghasilannya akan dibagi sesuai
dengan perjanjian keduanya sewaktu akad.
2.
Syarat dan Rukun Musaqah
Syarat-syarat
musaqah, yaitu:
a. Kecakapan
aqidain;
b. Obyek akad;
c. Membebaskan
amil dari pohon;
d. Kepemilikan
bersama dalam hasil yang diperoleh.
Dalam sebuah buku terjemah Fiqhul Islami
oleh H. Sulaiman Rasjid menyatakan bahwa rukun Musaqah adalah sebagai berikut:
a. Baik pemilik
maupun pengolah sama-sama berhak menasarrufkan harta keduanya;
b. Kebun, yaitu
semua pohon yang berbuah boleh diparokan, sekalipun palawija yang hanya satu
kali berbuah, seperti padi, jagung, dsb;
c. Pekerjaan,
yakni hendaknya ditentukan masa dan kewajibannya seperti penjagaan kerusakan,
perawatan buah dengan cara menyiram, merumput dan mengawinkannya;
d. Buah untuk
dibagi berdasarkan kesepakan pada waktu akad.
Hasan memaparkan dalam sebuah blog tentang
beberapa rukun musaqah menurut ulama
yang berbeda, yakni; rukun musaqah menurut Hanafiah, yaitu ijab dan qobul.
Malikiyah juga menambahi akad musaqah lazim dengan lafadz ijab-qobul. Berbeda
dengan Hanbaliah yang dinyatakan oleh Hasan bahwa tidak perlu ijab-qobul dengan
lafal, melainkan cukup dengan memulai penggarapan secara langsung.
Berdasarkan Hasan, menurut Jumhur Ulama
rukun musaqah ada tiga, yaitu:
a. Aqidain
(pemilik kebun dan penggarap);
b. Obyek akad,
yaitu pekerjaan dan buah;
c. Sighat, yaitu
ijab dan qobul;
d. Obyek Musaqah.
Hasan juga memaparkan pendapat Hanafiah
bahwa obyek musaqah adalah semua jenis pohon yang berbuah seperti anggur dan
kurma. Akan tetapi, ulama mutaakhirin dari Hanafiah membolehkannya dengan pohon
yang tidak berbuah karena pohon tersebut sama-sama membutuhkan perawatan. Hasan
juga menambahkan, menurut Malikiyah, obyek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan
seperti kacang dan pohon yang berbuah, yang memiliki akar tetap di dalam tanah,
dengan syarat:
a. Akad dilakukan
sebelum buah menjadi tua dan boleh diperjual-belikan;
b. Akad
ditentukan waktunya.
Masih dalam blog yang sama, Hasan
menyatakan bahwa ulama Hanafiah berpendapat bahwa musaqah dibolehkan pada pohon
yang berbuah dan dapat dimakan saja, sedangkan pohon yang buahnya tidak dapat
dimakan tidak boleh dilakukan musaqah. Menambahkan pendapat ulama syafi’iyah
yang dikatakan dalam madzab yang baru (qaul jadid) berpendapat bahwa obyek
musaqah hanya qurma saja.
3.
Aturan bagi hasil
Aturan dalam membagi hasil Musaqah ini
dibebaskan sepenuhnya dalam akad. Sebelum adanya kesepakatan, diharuskan
menjalin perjanjian antara pemilik dan tukang kebun terkait berapa bagian untuk
keduanya, misal; seperempat hasil untuk pemilik dan sisanya untuk tukang kebun,
ataupun sebaliknya serta kesepakatan masa kerja, yakni; berapa tahun si tukang
kebun harus merawat kebunnya. Sesudah perjanjian tersebut disetujui oleh
keduanya, maka kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan sesuai akad. Dan dalam
buku terjemahan Fiqih Islami oleh H. Sulaiman Rasjid mengharuskan
(memperbolehkan) akad ini karena sangat dibutuhkan oleh orang, yakni
orang-orang yang tidak memiliki kebun sementara mereka dapat merawat kebun.
Dalam sebuah situs zakat menyatakan bahwa
cara menentukan bagi hasil paroan adalah menyangkut waktu pelaksanaan bagian
masing-masing pihak. Antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Para fuqaha
sependapat, bahwa waktu pembagian hasil (paroan) dilakukan setelah panen, atau
setelah kelihatan hasil dari tanaman yang ditanam, dan biasanya didasarkan
kepada perjanjian yang telah disepakati serta dengan suka rela. Kemudian hasil
bagian masing-masing ditentukan berdasarkan perjanjian awal.
Situs tersebut juga menjelaskan menurut
syariat Islam, besarnya pembagian paroan adalah bermacam-macam, yaitu separo
atau setengah, sepertiga, dan adapula seperempat atau sesuai dengan kesepakatan
antara kedua belah pihak yang melakukannya. Bagi umat Islam di Indonesia sudah
ada ketentuan khusus mengenai pembagian hasil paroan bidang pertanian ini,
yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negri dan Menteri Pertanian Nomor
211/1980 dan Nomor 714/Ppts/Um/9/1980 yang menjelaskan tentang perimbangan hak
antara pemilik tanah dan penggarap, yakni masing-masing seperdua bagian atau
seimbang.
4.
Pendapat Ulama
Hasan memaparkan di dalam
blognya bahwa Musaqah berdasarkan hukum maupun syaratnya menurut Imam Abu
Hanifah dan Zufar tidak memperbolehkan akad ini. Dipaparkan bahwasanya Musaqah
dengan imbalan yang diambilkan dari hasil yang diperoleh (buah/panennya)
dihukumi batal karena itu termasuk akad sewa-menyewa yang sewanya dibayar
dengan hasilnya, dan hal tersebut dikatakan telah dilarang oleh syara’
berdasarkan hadits yang dipaparkan oleh Hasan diambil dari hadits nabi dari
Nafi’ dari Kharij bahwa nabi bersabda:
Barangsiapa yang memiliki sebidang
tanah, maka hendaklah dia menanaminya, dan dengan makanan yang disebutkan. (Mutaffaq alahi[10]
Dalam blog yang sama, Hasan juga
memaparkan bahwa menurut Abu Bakar Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur
ulama (Malik, Syafi’i, Ahmad) Musaqah diperbolehkan dengan beberapa syarat.
Pendapat tersebut dijelaskan berdasarkan hadits nabi SAW:
Dari Ibnu Umar Nabi bekerja sama
dengan penduduk khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang diperoleh baik
berupa buah-buahan maupun pepohonan. (HR. Jamaah)[11]
Dalam buku terjemahan Fiqhul Islami
menyebutkan salah satu hadits riwayat muslim yang artinya sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi
Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian. Mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik
dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija).” (Riwayat Muslim)[12]
Masih dalam buku yang sama, alasan
diperbolehkannya Musaqah ini lantaran banyaknya pemilik kebun yang tak dapat
memeliharanya, sementara disisi lain banyak pula orang yang dapat merawat kebun
tapi mereka tak memiliki kebun untuk dirawat. Dengan adanya Musaqah ini
diharapkan baik pemilik kebun maupun tukang kebun dapat hidup dengan baik,
hasil negara pun tambah banyak dan masyarakat pun bertambah makmur.
D. Hukum Dalam
Mengeluarkan Zakat
Dalam Fiqih Islami, zakat hasil
paroan sawah diwajibkan atas orang yang punya benih sewaktu mulai bertanam.
Jika yang mengeluarkan benihnya adalah petani yang mengerjakan sawah itu
(muzara’ah), maka zakat seluruh hasil sawah yang dikerjakannya itu wajib atas
petani itu; karena pada hakikatnya petanilah yang bertanam, pemilik tanah hanya
mengambil sewa tanahnya, dan penghasilan dari sewaan tidak wajib dizakati.
Jika benih itu berasal dari yang
punya tanah (mukhabarah), maka zakat seluruh hasil sawah itu wajib dibayar oleh
pemilik sawah; karena pada hakikatnya dialah yang bertanam, petani hanya
mengambil upah kerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dizakati.
Kesimpulan
Muzara'ah adalah paroan lahan atau sawah yang benihnya
berasal dari petani atau orang yang akan menggarap lahan tersebut. Muhkabarah
adalah paroan sawah atau lahan yang benihnya berasal dari pemilik tanah.
Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai
upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Muasaqah adalah salah satu
bentuk penyiraman. Adapun sistem pembagian hasilnya disesuaikan dengan
ketentuan sebelumnya antara pemilik tanah dan penggarap.
DAFTAR PUSTAKA
‘Azhim, ‘Abdul bin Badawi al-Khalafi. 2008. Al-Wajiz.
Jakarta : Pustaka as-Sunnah.
Hasan.
2011. Musaqah dan Muzaraah. http://el-ghozali-hasan.blogspot.com/2011/06/musaqah-dan-muzaraah.html. 10 April 2012.
Huda, Amanatul. 2011. Muzara’ah,
Mukhabarah, dan Musaqah. http://amanatulhuda.blogspot.com/2011/02/muzaraah-mukhabarah-dan-musaqah.html.
10 April 2012.
Mulhari.
2010. Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah. http://zakat-mulhari.blogspot.com/2010/12/muzaraah-mukhabarah-dan-musaqah.html.
10 April 2012.
Nasreon, Haroen. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Rasjid, Sulaiman. 2000.
Fiqih Islami. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sabiq,
Sayyid. 2008. Fiqih Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Suhendi. Fiqih
Muamalah.
[1]‘Abdul ‘Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), 677.
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam
(Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1994), 301.
[4] Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah,
(Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 278
[5] Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal
158-159.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah
(Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2008), 101.
[7]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islami (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hal 302
[8]
Ibid
[11]
Ibid
[12]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam Terjemahan (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000).
Hal 300
0 komentar:
Posting Komentar