Selasa, 30 September 2014

Makalah MUZARA’AH, MUKHABARAH, DAN MUSAQAH

MUZARA’AH, MUKHABARAH, DAN MUSAQAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah “Fiqih

Dosen Pengampu:
Saifullah, M. Ag
 






                        Disusun oleh:
              1.    Neyla Fatmawati                     (9322 003 10)
              2.    Nina In Kholida                      (9322 070 10)
              3.    Nur Arqom Eka Fatria             (9322 108 10)


JURUSAN TARBIYAH PRODI TADRIS BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2012
PEMBAHASAN
A.    Muzara’ah
1.      Pengertian
      Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasana mengelola tanah dengan mendapatkan sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah Fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.[1]
      Dalam pengertia lain ada yang menyebutkan, muzara’ah yaitu paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani ( orang yang menggarap).[2]
2.      Persyari’atan Muzara’ah
عن نا فع عن عبد ا لله بن عمر : اخبره : أن النبي عامل أهل خيبر بشطر ما يخر ج منها من تمر أوزرع.                                                                  
Dari Nafi’ dari Abdullah bun Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ bahwa Nabi SAW pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no:2329, Muslim XCII:1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
      Imam Bukhari menulis, “Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’fat, ia berkata,’Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud,  Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathur Bari V: 10).
3.      Rukun dan Syarat Muzara’ah
      Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.[3]
      Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah[4]
a.       Pemilik tanah
b.      Petani penggarap
c.       Objek al-muzaraah
d.      Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
a.       Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
c.       Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
d.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
e.       Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
f.       Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.[5]
        Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
a.        Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
b.       Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
c.        Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
d.       Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
e.        Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.
4.      Penanggung Modal
      Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau di tanggung kedua belah pihak.
      Dalam Fathur Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapatkan separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan,” Tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”


5.      Menyewakan tanah dengan uang
      Muzara’ah boleh dilakukan dengan uang, makanan, dan lainnya yang dianggap sebagai harta.
      Hanzhalah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang penyewaan tanah. Dia berkata,”Rasulullah SAW melarangnya. Aku berkata,” Bagaimana jika dengan emas dan uang?” Dai berkata, “Jika dengan emas dan uang maka tidak apa-apa.
      Ini adalah pendapat Ahmad, sebagian dari para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i, An-Nawawi berkata, “Inilah yang kuat dan terpilih di antara semua pendapat.”[6]
6.      Muzara’ah yang tidak sah
      Telah kita ketahui di atas disebutkan bahwa muzara’ah yang benar adalah pemberian tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan catatan bahwa dia akan mendapatkan porsi tertentu dari apa yang dihasilkannya, seperti setengah, sepertiga, atau sejenisnya. Artinya, bagian pemilik tanah belum ditentukan.
      Apabila bagian pemilik tanah telah ditentukan, misalnya dibatasi dengan berat tertentu dari apa yang dihasilkan oleh tanah atau dibatasi dengan luas tertentu dari tanah yang hasilnya adalah bagiannya, sementara sisanya adalah bagian pekerja atau dibagi di antara keduanya, maka muzara’ah batal karena di dalamnya terdapat tipu daya dan karena dapat menimbulkan persengketaan.
      Rafi’ bin Khadij berkata, “Kami dulu adalah yang paling banyak bercocok tanam di antara penduduk Madinah. Kami menyewakan tanah dengan imbalan salah sati sisinya yang ditentukan untu pemilik tanah. Sering kali sisi yang itu ditimpa bencana dan sisi yang lain selamat. Dan sering kali sisi yang lain ditimpa bencana dan sisi yang itu selamat. Kami pun dilarang melakukan itu.
      Diriwayatkan juga bahwa Nabi SAW berkata, “Apa yang kalian perbuat dengan ladang-ladang kalian?” Mereka berkata,”Kami menyewakannya dengan imbalan apa yang tumbuh di atas saluran air atau dengan imbalan sekian kurma dan gandum.” Beliau pun bersabda,
للتفعلوا, ازرعوهاأوأزرعوهاأوأمسكوها.
“Janganlah kalian melakukan itu. Tanamilah ia, atau berikanlah ia kepada orang lain agar ditanaminya, atau biarkanlah ia terbengkalai.” Rafi’ berkata,”Aku berkata,”Kami mendengar dan taat.”
7.      Hikmah Muzara’ah
a.       Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b.      Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c.       Tertanggulanginya kemiskinan.
d.      Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan      bertani.
B.     Mukhabarah
1.      Pengertian
     Dalam Fiqih Islami menjelaskan pengertian Mukhabarah adalah paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah. Mukhabarah seperti halnya juga muzara’ah, dalam blog ismutaqwa ulama Syafi’iyah menjelaskan pengertian perbedaan dari keduanya sebagai berikut:
“Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah sama seperti mukhabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah”.
2.      Dasar Hukum
     Dasar hukum Mukhabarah ini sama dengan dasar hukum yang digunakan dalam Muzara’ah karena memang pada dasarnya keduanya tidak memiliki perbedaan yang mendasar kecuali asal benihnya. Namun terdapat perbedaan pendapat antar ulama terkait mukhabarah ini. dalam Fiqih Islami dijelaskan terdapat beberapa ulama yang membolehkan, tapi ada juga yang melarang. Ulama yang melarang mukhabarah ini beralasan pada hadits dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ كُنّااَكْثَرَالأَنْصَارِحَقْلاً فَكُنّا نُكْرِى الاَرْضَ عَلَى اَنّ لَنَا هَذِهِ وَلَهُمْ هَذِهِ فَرُبّمَا اَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَا نَا عَنْ ذَلِكَ.رواه البخارى
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)[7]
     Sedangkan ulama yang memperbolehkan mukhabarah ini diperkuat pendapatnya oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka dikatakan telah mengambil alasan dari hadis Ibnu Umar sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنّ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَا مَلَ اَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍاَوْزَرْعٍ. رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija).” (Riwayat Muslim)[8]
     Dalam Fiqhul Islami dijelaskan bahwa hadis yang melarang ini dimaksudkan apabila penghasilan dari sebagian tanah diharuskan menjadi milik  salah seorang diantara keduanya (pemilik tanah atau penggarap). Karena orang-orang pada masa dahulu memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh Rasulullah lantaran pekerjaan yang demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf.  Dalam Fiqih Islami tersebut pun juga menegaskan bahwa pendapat tersebut dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak.
C.    Musaqah
1.      Pengertian
                  Musaqah menurut bahasa berarti memberi minum, sedangkan menurut istilah adalah:
“suatu akad penyerahan pepohonan kepada orang yang mau menggarapnya dengan ketentuan hasil buah-buahan dibagi diantara mereka berdua”[9]
      Musaqah (paroan kebun) adalah kerjasama antara pemilik kebun dan tukang kebun, dimana pemilik kebun mempersilahkan tukang kebun untuk memeliharanya, sedang penghasilannya akan dibagi sesuai dengan perjanjian keduanya sewaktu akad.
2.      Syarat dan Rukun Musaqah
Syarat-syarat musaqah, yaitu:
a.      Kecakapan aqidain;
b.      Obyek akad;
c.      Membebaskan amil dari pohon;
d.     Kepemilikan bersama dalam hasil yang diperoleh.
     Dalam sebuah buku terjemah Fiqhul Islami oleh H. Sulaiman Rasjid menyatakan bahwa rukun Musaqah adalah sebagai berikut:
a.    Baik pemilik maupun pengolah sama-sama berhak menasarrufkan harta keduanya;
b.    Kebun, yaitu semua pohon yang berbuah boleh diparokan, sekalipun palawija yang hanya satu kali berbuah, seperti padi, jagung, dsb;
c.    Pekerjaan, yakni hendaknya ditentukan masa dan kewajibannya seperti penjagaan kerusakan, perawatan buah dengan cara menyiram, merumput dan mengawinkannya;
d.   Buah untuk dibagi berdasarkan kesepakan pada waktu akad.
      Hasan memaparkan dalam sebuah blog tentang beberapa rukun musaqah  menurut ulama yang berbeda, yakni; rukun musaqah menurut Hanafiah, yaitu ijab dan qobul. Malikiyah juga menambahi akad musaqah lazim dengan lafadz ijab-qobul. Berbeda dengan Hanbaliah yang dinyatakan oleh Hasan bahwa tidak perlu ijab-qobul dengan lafal, melainkan cukup dengan memulai penggarapan secara langsung.
      Berdasarkan Hasan, menurut Jumhur Ulama rukun musaqah ada tiga, yaitu:
a.       Aqidain (pemilik kebun dan penggarap);
b.      Obyek akad, yaitu pekerjaan dan buah;
c.       Sighat, yaitu ijab dan qobul;
d.      Obyek Musaqah.
      Hasan juga memaparkan pendapat Hanafiah bahwa obyek musaqah adalah semua jenis pohon yang berbuah seperti anggur dan kurma. Akan tetapi, ulama mutaakhirin dari Hanafiah membolehkannya dengan pohon yang tidak berbuah karena pohon tersebut sama-sama membutuhkan perawatan. Hasan juga menambahkan, menurut Malikiyah, obyek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan seperti kacang dan pohon yang berbuah, yang memiliki akar tetap di dalam tanah, dengan syarat:
a.       Akad dilakukan sebelum buah menjadi tua dan boleh diperjual-belikan;
b.      Akad ditentukan waktunya.
     Masih dalam blog yang sama, Hasan menyatakan bahwa ulama Hanafiah berpendapat bahwa musaqah dibolehkan pada pohon yang berbuah dan dapat dimakan saja, sedangkan pohon yang buahnya tidak dapat dimakan tidak boleh dilakukan musaqah. Menambahkan pendapat ulama syafi’iyah yang dikatakan dalam madzab yang baru (qaul jadid) berpendapat bahwa obyek musaqah hanya qurma saja.
3.      Aturan bagi hasil  
      Aturan dalam membagi hasil Musaqah ini dibebaskan sepenuhnya dalam akad. Sebelum adanya kesepakatan, diharuskan menjalin perjanjian antara pemilik dan tukang kebun terkait berapa bagian untuk keduanya, misal; seperempat hasil untuk pemilik dan sisanya untuk tukang kebun, ataupun sebaliknya serta kesepakatan masa kerja, yakni; berapa tahun si tukang kebun harus merawat kebunnya. Sesudah perjanjian tersebut disetujui oleh keduanya, maka kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan sesuai akad. Dan dalam buku terjemahan Fiqih Islami oleh H. Sulaiman Rasjid mengharuskan (memperbolehkan) akad ini karena sangat dibutuhkan oleh orang, yakni orang-orang yang tidak memiliki kebun sementara mereka dapat merawat kebun.
      Dalam sebuah situs zakat menyatakan bahwa cara menentukan bagi hasil paroan adalah menyangkut waktu pelaksanaan bagian masing-masing pihak. Antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Para fuqaha sependapat, bahwa waktu pembagian hasil (paroan) dilakukan setelah panen, atau setelah kelihatan hasil dari tanaman yang ditanam, dan biasanya didasarkan kepada perjanjian yang telah disepakati serta dengan suka rela. Kemudian hasil bagian masing-masing ditentukan berdasarkan perjanjian awal.
      Situs tersebut juga menjelaskan menurut syariat Islam, besarnya pembagian paroan adalah bermacam-macam, yaitu separo atau setengah, sepertiga, dan adapula seperempat atau sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukannya. Bagi umat Islam di Indonesia sudah ada ketentuan khusus mengenai pembagian hasil paroan bidang pertanian ini, yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Ppts/Um/9/1980 yang menjelaskan tentang perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yakni masing-masing seperdua bagian atau seimbang.
4.      Pendapat Ulama
                  Hasan memaparkan di dalam blognya bahwa Musaqah berdasarkan hukum maupun syaratnya menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar tidak memperbolehkan akad ini. Dipaparkan bahwasanya Musaqah dengan imbalan yang diambilkan dari hasil yang diperoleh (buah/panennya) dihukumi batal karena itu termasuk akad sewa-menyewa yang sewanya dibayar dengan hasilnya, dan hal tersebut dikatakan telah dilarang oleh syara’ berdasarkan hadits yang dipaparkan oleh Hasan diambil dari hadits nabi dari Nafi’ dari Kharij bahwa nabi bersabda:
Barangsiapa yang memiliki sebidang tanah, maka hendaklah dia menanaminya, dan dengan makanan yang disebutkan. (Mutaffaq alahi[10]
      Dalam blog yang sama, Hasan juga memaparkan bahwa menurut Abu Bakar Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama (Malik, Syafi’i, Ahmad) Musaqah diperbolehkan dengan beberapa syarat. Pendapat tersebut dijelaskan berdasarkan hadits nabi SAW:
Dari Ibnu Umar Nabi bekerja sama dengan penduduk khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang diperoleh baik berupa buah-buahan maupun pepohonan. (HR. Jamaah)[11]
 Dalam buku terjemahan Fiqhul Islami menyebutkan salah satu hadits riwayat muslim yang artinya sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian. Mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija).” (Riwayat Muslim)[12]
      Masih dalam buku yang sama, alasan diperbolehkannya Musaqah ini lantaran banyaknya pemilik kebun yang tak dapat memeliharanya, sementara disisi lain banyak pula orang yang dapat merawat kebun tapi mereka tak memiliki kebun untuk dirawat. Dengan adanya Musaqah ini diharapkan baik pemilik kebun maupun tukang kebun dapat hidup dengan baik, hasil negara pun tambah banyak dan masyarakat pun bertambah makmur.
D.    Hukum Dalam Mengeluarkan Zakat
            Dalam Fiqih Islami, zakat hasil paroan sawah diwajibkan atas orang yang punya benih sewaktu mulai bertanam. Jika yang mengeluarkan benihnya adalah petani yang mengerjakan sawah itu (muzara’ah), maka zakat seluruh hasil sawah yang dikerjakannya itu wajib atas petani itu; karena pada hakikatnya petanilah yang bertanam, pemilik tanah hanya mengambil sewa tanahnya, dan penghasilan dari sewaan tidak wajib dizakati.
            Jika benih itu berasal dari yang punya tanah (mukhabarah), maka zakat seluruh hasil sawah itu wajib dibayar oleh pemilik sawah; karena pada hakikatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah kerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dizakati.

Kesimpulan
            Muzara'ah adalah paroan lahan atau sawah yang benihnya berasal dari petani atau orang yang akan menggarap lahan tersebut. Muhkabarah adalah paroan sawah atau lahan yang benihnya berasal dari pemilik tanah. Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Muasaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Adapun sistem pembagian hasilnya disesuaikan dengan ketentuan sebelumnya antara pemilik tanah dan penggarap.





DAFTAR PUSTAKA
‘Azhim, ‘Abdul bin Badawi al-Khalafi. 2008. Al-Wajiz. Jakarta : Pustaka as-Sunnah.
Hasan. 2011. Musaqah dan Muzaraah. http://el-ghozali-hasan.blogspot.com/2011/06/musaqah-dan-muzaraah.html. 10 April 2012.
Huda, Amanatul. 2011. Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah.  http://amanatulhuda.blogspot.com/2011/02/muzaraah-mukhabarah-dan-musaqah.html. 10 April 2012.

Nasreon, Haroen. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islami. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Suhendi. Fiqih Muamalah.



[1]‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), 677.
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1994), 301.
[3]  Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal 158
[4] Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 278
[5]  Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal 158-159.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2008), 101.
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islami (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hal 302
[8] Ibid
[11] Ibid
[12] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam Terjemahan (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000). Hal 300

0 komentar:

Posting Komentar