Tujuan
pendidikan dalam prespektif Al-Zarnuji
Dengan kajian
Ta’lim Muta’alim
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah ”pengantar pendidikan”
Dosen Pengampu :
Erna Nur
Khalida, M,Pd.
Disusun Oleh:
Nur
Arqom Eka Fatria : 9322 108 10
PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam prespektif manapun pendidikan merupakan sebauah upaya untuk
memberikan suatu dorongan sehingga tercapainya sebuah insan yang terdidik. Atau
dalam artian sederhana suatu upaya untuk
tercapainya pengajaran yang kemudian menjadikan seorang insan atau anak didik
baik akan tingkah laku dan baik dalam kehidupan pribadinya, atau baik dalam
kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tentang insan itu hidup, atau juga
pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas
asasi dan sebagai proporsi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[1]
Dalam pengertian lain mungkin kita bisa menyebutkan bahwa tujuan akan
pendidikan sangat berkaitan dengan nilai, dan dari itu tujuan pendidikan itu
juga sebuah nilai-nilai yang disukai untuk melaksanakannya, dan masalah tujuan
dalam pendidikan pertama kali adalah masalah nilai, itu karena pendidikan
mengandung pilihan bagi arah tertentu kemana perkembangan murid-murid menuju.
Dan pilihan ini tentu berkaitan rapat dengannilai-nilai.[2]
Dilihat dari tujuan pendidikan yang kita kenal, maka sebuah pendidikan tidak lepas dari suatu metode untuk
tercapainya sebuah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dan metode-metode itu
tidak kemudian dijadikan salah satu tolak ukur untuk tercapainya tujuan
pendidikan, tetapi sebuah metode dijadikanya sebagai acuan bagaimana
tersampaikannya ilmu-ilmu kepada para anak didik dengan baik.
Perkembangan yang cepat
sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga
mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan
kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya, apalagi
kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya,
berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai
konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam
tulisan ini difokuskan pada pembahasan Kitab Ta’li>m al-Muta’llim.
Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena ternyata pemikirannya
tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang mengingat pudarnya
nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis Madjid
mengatakan, bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya,
sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika
sejarahnya yang telah berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak
dijadikan bahan pelajaran.
Belajar dari sejarah merupakan perintah
langsung dari Allah untuk memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah
keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam. Kitab ini diangkat
kepermukaan karena asumsi penulis bahwa (1) kitab ini telah memasyarakat pada
dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan pesantren, (2) ajaran-ajarannya
secara filosufis bersesuaian dengan ruh pendidikan Islam, dan (3) semakin
pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan Islam karena disadari atau
tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam dunia pendidikan
Islam. Pada hal
pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam. Dalam dunia pendidikan Barat
proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab manusia, tidak dihubungkan
dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir pendidikannyapun ialah memperoleh
kehidupan sejahtera dalam arti materealistik semaksimal mungkin. Ini tentu
berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua aktivitas pendidikan
haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan sebagai
khalifah.
B. Rumusan
Masalah
- Sekapur sirih tentang kitab Ta’lim Muta’alim?
- Apa tujuan dari pendidikan?
- Bagaimana tahap-tahap dari tujuan pendidikan?
- Apa sumber-sumber yang menjadi dasar tujuan pendidikan islam?
- Apa tujuan pendidikan dalam prespektif Al- Zarnuji?
- Bagaimana guru dalam pendidikan islam?
- Bagaimana moralitas guru?
- Bagaimana pemberdayaan guru?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sekapur sirih Ta’lim
Muta’alim dan Pengarangnya
Pengarang kitab Ta’li>m
al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum ialah al-Zarnuji, yang nama
lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji. Dalam
Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji
ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin
al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H. Al-Zarnuji
adalah seorang sastrawan dari Bukhara, dan termasuk ulama yang hidup pada abad
ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan
kitab Ta’li>m al-Muta’lim. Kitab ini telah diberi syarah
(komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh
Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali
bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani
ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.
Tentunya kitab ini tidak
asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok
pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi
santri dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli
pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab
ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami
sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak. Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata
itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qa>mu>s
Islami, bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang
terletak di kawasan sungai Tigris (ma> wara’a al-nahr) yakni
Turtkistan Timur.
زرنوجى, أو رنوق, بدة كانت مشهورة في
إقليم ما (وراء النهر [تركستان الشرقية] تقع بالقرب من خوقند.
Dalam kitabnya secara
implisit, Al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia
hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah
al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di
kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya
contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam
kitabnya.
2. Tujuan
Pendidikan
Setiap
kegiatan apapun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak sadar selalu diharapkan
pada tujuan yang ingn dicapai. Bagaimanapun segala sesuatu atau usaha yang
tidak mempunyai tujuan tidak akanmempunyai arti apa-apa. Dengan demikian tujuan
merupakan faktor yang sengat menentukan.
Pendidikan
sebagai usaha bentukkegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan
sebagai sesuatu yang hendak dicapai, baik yang dirumuskanya bersifat abstrak
maupun rumusan-rumusan yang dibentuk secara khusus untuk memudahkan pencapaian
yang lebih tinggi. Adapun beberapa tujuan pendidikan yaitu sebagia arah
pendidikan, tujuan sebagai titik akhir, sebagi titik pangkal mencapai tujuan
lain, dan memberi nilai pada usaha yang dilakukan.[3]
Dalam
pandangan lain tujuan pendidikan yang mencakup adanya tujuan individuil, tujuan
sosial, dan tujuan proffesionil.[4]
Tetapi pada intinya sebuah tujuan dari pendidikan yaitu seperti apa yang
dikatakan oleh nabi Muhammad S.A.W. pendidikan mendirikan masyarakat manusia
yang bersih, bersih akidah, besih hubungan-hubungan dan bersih perasaan dan
tingkah laku. Mulai dengan individu-individu kemudian ajaran islam itu
mengembalikannya kepada fitrahnya yang sehat, mendidik hati nuraninya yang peka
(sensitive), membiasakannya dengan akhlak yang utama dan mulia, mendirikan keluarga
atas dasar kasih, murah dan sayang, membentuk masyarakat atas dasar cinta,
perpaduan dan keadilan, dan menyusun hubungan-hubungan antara berbagai
masyarakat berdasar pada kejujuran dan kebenaran.[5]
Sebagaimana
pengertian dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh beberapa prespektif di
atas, mengerucut pada satu pengertian yang mana intinya pendidikan merupakan
proses penyempurnaan akan diri manusia, sempurna akan tingkah laku, pola pikir,
dan jiwa manusia.
3. Tahap-tahap
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan sebagaimana terbagi menjadi tujuan individual, sosial, dan tujuan
kejuruan, juga terbagi menurut dekat atau jauhnya, kepada tujuan-tujuan jangka
pendek, atau tujuan-tujuan jangka panjang, dan juga mengikut umum dan
khususnya. Begitu juga pendidikan itu menjadi tujuan terakhir dan tujuan
langsung atau dekat. Dan tujuan langsung atau dekat ini dapat dibagi lagi
menjadi tujuan umum dan tujuan khas. Dengan itu tujuan pendidikan itu
sebenarnya berada dalam tiga jenis atau tahap, yaitu tujuan tertinggi dan
terakhir, tujuan umum, dan tujuan khusus.[6]
Pertama, tujuan tertinggi atau terakhir bagi pendidikan adalah tujuan yang tidak
diatasi oleh tujuan lain, sekalipun bertingkat-tingkat di bawahnya
tujuan-tujuan lain yang kurang dekat atau kurang umum daripadanya. Ia bersifat
umum dan tidak terperinci, berlainan dengan dua peringkat yang lain tujuan umum
dan tujuan khas. Adapun sesungguhnya tujuan terakhir pendidikan, dari segi
pribadi adalah perwujudan kendiri, pertumbuhan menyeluruh, dan
kewarganegaraan yang baik.
Kedua, tujuan-tujuan umum bagi pendidikan, dalam hal ini tujuan pendidikan dibagi
kepada dua tahap atau dua jenis, yaitu tujuan-tujuan am dan khas. Am berarti
metode atau perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan oleh pendidik
untuk mencapainya. Dan menurut prof. Mohd. Athiya El-Abrasyi dalam kajiannya
tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan lima tujuan am yang asasi
bagi pendidikan islam, yaitu untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia,
persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, persiapan untuk mencari
rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan, menumbuhkan roh ilmiah pada
pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji
ilmu sekedar sebaga ilmu. Menyiapkan pelajar dari segi proffesional, teknis,
dan perusahaan.
Ketiga, tujuan-tujuan khas pendidikan, yaitu perubahan-perubahan yang diingini yang
bersikap cabang atau bahagian yang termasuk dibawah tiap-tiap tujuan daripada
tujuan-tujuan pendidikan am yang utama.
4. Sumber
dari Tujuan Pendidikan Islam
Mana
saja yang menjadi tahap tujuan-tujuan pendidikan haruslah mempunyai
sumber-sumber dariman kita mengambil dan sandaran tempat kita meletakkan
binaannya. Sumber-sumber dan snadaran-sandaran ini pada keseluruhannya pada
masyarakat Islam yang baru, kembali kepada agama islam dalam pengertiannya yang
luas dan menyeluruh. Islam adalah sumber asasi dari mana masyarakat mengambil
falsafah pendidikan, tujuan-tujuan, dasar-dasar perencanaan untuk masa
depan, kurikulum, metode pengajaran,
alat-alat dan cara-cara administrasi dan sistemnya.[7] Dan
pada dasarnya semua dasar atau sumber akan tujuan pendidikan adalah bersumber
dari Kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Dalam sebuah hadis menerangkan, yang
artinya : “Aku telah telah meninggalkan kepadamu dua perkara, jika kamu
berpegang teguh kepadanya kamu tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah
dan Sunnah Nabinya.” Dan juga dalam
Al-Qur’an dijelaskan dengan firman-firman Allah sebagai berikut :
“Allah telah memberi
karunia kepada orang-orang Mukmin sebab Ia mengutus kepada mereka seorang Rosul
dari mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan
mereka, dan mengajar mereka membaca kitab dan hikmah, sekalipun sebelum itu mereka
berada dalam kesesatan yang nyata.” (Ali-Imran:164)
Begitu juga firman Allah :
“dialah yang mengetus
pada orang-orang buta huruf seorang rosul dari mereka yang membacakan kepada
mereka ayat-ayatNya, mensucikan mereka dan mengjarkan mereka membaca kitab dan
hikmah, sekalipun sebelum itu mereka berada dalam kesesatan yang nyat.” (Al-Jum’ah
: 2)
Dengan
kembali kepada dua sumber asasi syariat Islam ini, Al-Qur’an dan sunnah Nabi,
dan kepada sumber-sumber syariat yang lain yang berdasar pada keduanya, dan juga
kepada peninggalan ulam terdahulu daripada tafsiran-tafsiran, ijtihad-ijtiha,
dan pwndapat-pendapat yang dapat diperpegangi pada bidang pendidikan dan pada
bidang-bidang yang lain, maka penyelidik akan mendapati gambaran yang terang
tentang faktor-faktor dan aspek-aspek individuil dan sosial yang tidak dapat
harus ditimbangkan ketika menentukan tujuan-tujuan pendidikan.
5. Tujuan
Pendidikan dalam Prespektif Al-Zarnuji
Pendidikan
merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya.
Maksud tujuan pendidikan atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu
kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan
belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti
pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu
melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia,
diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata
tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting artinya karena dia berfungsi sebagai
pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas pendidikan,
merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama,
tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai
(sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat
dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan manusia.
Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas
sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang (2007).
Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang
bersifta fundamental, seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada
anak-anak-anak berbeda dengan kutalitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah
manusia menjelang usia lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau
seseorang pada dasarnya bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan
keyakinan dalam beragama. Maka dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas
keagamaan antar ahli pendidikan, menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan
tujuan belajar. Secara makro tentu tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda
dengan tujuan pendidikan bangsa lain, disamping adanya
persamaan-persamaan.
Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan
Islam berikut ini:
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم
رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال
وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن
بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل.
والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان
الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم
متهتك *
وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya:
Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari
kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri
maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena
Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah
tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair:
“orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun
beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya
adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan.
Selanjutnya al-Zarnuji berkata:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة
البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا
والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد
ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم
و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang
menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan
badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula
untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan
yang lainnya.
Sebagai akibat dari
seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para
pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki oleh orang
lain. Demikian pendapat
al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما
فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين
حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار
الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران
طالبه * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya:
Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia
tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam
Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah:
Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah
kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena
mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan
pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal),
tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai
instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji
berikut ini:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر
بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه
وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر
بالمعروف والنهى عن المنكر.
وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك
فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من
القليل * وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي * فهم
متحيرون بلا دليل.
Maksudnya:
Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau
kedudukan tersebut digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk
melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari
keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu.
Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari
dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar
janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan
tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit
dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina.
Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka
adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut
al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan
pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial
dan tujuan-tujuan professional. Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam
konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar,
mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan
tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat
mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati
kehidupan dunia dan menuju akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk
menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan
nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan
sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya.
Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan
kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga
harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu
ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun
kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat
secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah
dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional
haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk
itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan
akhirat menjadi awal dari segala tujuan (nilai sentral) bagi
pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu
untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan
materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4) mencari
rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan
sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih jelasnya
dapat diliat dalam gambar berikut:
Dari
gambaran diatas jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai
penghubung mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral
yang akan menyinari dan membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang
boleh saja memperoleh ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan
kebudayaan dan peradaban asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai
keagamaan. Ini dapat
dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya. Karena
tujuan haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya,
pembelajar menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir
segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk
mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu
proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan
tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh Ali Abdul Azim sebagai tujuan
yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:
وكان الهداف الأكثر للمعرفة في
الإسلام هو الإتصال بالله سبحانه وتعالى هو المثل الأعلى للحق
والخير والجمال.
Maksudnya: Tujuan
memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung dalam Islam, ialah
pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini merupakan hal yang paling utama
untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Dari
gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat
ideal maupun yang bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami,
yaitu pertama, dimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkan
kesejahteraan di dunia. Nilai ini mendorong seseorang untuk bekerja keras dan
professional agar keuntungan dan kenikmatan dunia dapat diperoleh
sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang mengandung nilal-nilai ruhani dan
keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar untuk tidak terbelenggu oleh mata
rantai kehidupan yang materealistis di dunia, tetapi ada tujaun-tujuan yang
lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan terhadap nilai
ini, menjadikan pembelajar terkontrol dari syahwat kenikmatan
dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan
antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin,
keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal
terhadap pengaruh-pengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang
menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spritual, sosial,
kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.
Tujuan
pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari
aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk
dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori
pendidikan berdasar pada hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi
keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan
eksistensi manusia melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama
menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan (3) pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha
membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz
(religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy
(pragmatis instrumental). Aliran
konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran
agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru
dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama.
Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak
jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan
belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan
pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun
prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia,
pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan
pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran
aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya
dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji
dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya
berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar
harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan
belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam
memperoleh ilmu. Sehingga boleh saja pembelajar bertujuan mencari
kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk
tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran,
dan untuk menegakkan agama Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh.
Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik
dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam
bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari
materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang maka dia akan patah
semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari
pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat
dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak
negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung
jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan
mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan
pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab
keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai
tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari
itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai
titik sentral dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan
baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan.
Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah
(keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan
keagamaan. Dampak negatif edukatifnya menjadikan term al-ilm
(ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi
bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian
spritual yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah
pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang
sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran
pendidikannya terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan
diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak
berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam
reformasi dan transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat
dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar? Sebelum dibahas ada
baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat para ahli. Menurut Morris
L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar
bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan netral (tidak baik
dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri dari;
aktif, pasif, dan interaktif. Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat
dasar manusia dan aksinya bad-active ialah seperti aliran Theistic
Mental Discipline, yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya
jelek, yang tidak ada harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan
tumbuh berkembang maka yang tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi
pendidikan adalah mengusahakan pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih
bagian-bagian jiwa ke arah yang baik. Jika percaya bahwa sifat dasar manusia
dan aksinya bersifat good-active, maka tanpa mereka dipengaruhi oleh
dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya dalam pendidikan
ialah orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan sedemikian rupa
agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu tersebut.
Yang berpandangan bahwa sifat dasar
manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada dasarnya manusia itu
bersifat netral yang berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula buruk.
Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk
pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah
baik atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.
Bagi yang berpendpat bahwa sifat dasar manusia
dan aksinya terhadap dunia luar bersifat neutral-interactive, adalah
hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja aksinya terhadap dunia
luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan, tidak akan dapat
seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki, karena
pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil
proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian seseorang.
Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori yang
dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.
Bagaimana menurut al-Zarnuji
mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak
menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa
al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan
nilai-nilai Islam. Berikut statemennya:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار
الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ
حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر.
وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى :
وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال:
ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka
seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim,
yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat),
dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir,
maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau mempunyai kriteria
tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang
berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu
kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya terma
memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu
pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi
menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena
bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara
mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada
orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu,
selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz,
supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu
berkah dan bermanfaat.
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh
memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman
yang tepat. Berikut pernyataan
al-Zarnuji:
و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان
والمعطل والمكثار والمفسد والفتان.
قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته
* فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه
سرعة * وإن كان ذا خير فقارنه
تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته
* كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد
سريعة * كالجمر يوضع
في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل
مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman
dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai watak istiqa>mah
dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, atheis,
banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah
bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena
seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka
menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu
akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali
bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak
orang yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas
itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini
dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ
يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً
جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول
أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ (
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Dari berbagai statemen al-Zarnuji
tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive
atau fitrah positif-aktif dalam klasifikasi pemikiran pendidikan Islam
yang digagas oleh Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik,
aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama
antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat
saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia
luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia
luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh
serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan
kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz, memilih
guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian,
belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab
lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan
salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat
kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena
bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh
alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun
juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau
tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan). Seperti halnya kasus
Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam
lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah,
sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada
suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain
yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh
al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
6. Guru
dalam Pendidikan Islam
Dalam
khazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki beberapa pedoman istilah
seperti “ustadz”, “mu’allim”, “mu’addib”, dan “murobbi”. Beberapa istilah untuk
sebutan “guru” itu berkait dengan beberapa itilah untuk pendidikan yaitu
“ta’lim”, “ta’dib”, dan “tarbiyah”, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Istilah mu’allim lebih menekankan guru sebagai pengajar, penyampai
pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Istilah mu’addib lebih
menekankan guru sebagai pembina moralitas dan akhlak peserta didik dengan
keteladanan, dan istilah murobbi lebih menekankan pengembangan dan
pemeliharaan baik aspek jasmaniah atau ruhaniyah dengan kasih sayang.[8]
Dalam
bahaasa Indonesia terdapat istilah guru, disamping istilah pengajar dan
pendidik. Dua istilah terakhir yang merupakan bagian tugas terpenting dari guru
yaitu mengajar sekaligus mendidik siswanya. Walaupun antar guru dan ustadz
pengertiannya sama, namun dalam praktek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah
Islam, istilah guru dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai
sebutan guru khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman pengamalan
agama yang mendalam.dalam wacana yang lebih luas, istilah guru bukan hanya
terbatas pada lembaga persekolahan atau lembaga keguruan semata. Istilah guru
sering dikaitkan dengan istilah bangsa sehingga menjadi guru bangsa. Guru
bangsa adalah orang yang dengan keluasan pengetahuan, keteguhan komitmen dan
kebesaran jiwa dan pengaruh serta keteladanannya dapat mencerahkan bangsa dari
kegelapan. Karena itu di dunia ini banyak orang yang bekerja sebagai guru, akan
tetapi mungkin hanya sedikit yang bisa menjadi guru yaitu yang yang bisa digugu
dan ditiru.[9]
Dalam
pandangan lain terkait pentingnya kedudukan guru dalam proses pendidikan
seperti halnya yang diucapkan oleh Imam Syafi’i sebagai berikut; “barang siapa
yang hanya belajar dari lembaran buku-buku saja berarti ia telah menyia-nyiakan
hukum-hukum.[10] Dan juga diterangkan
dalam buku Rosailu Shafa, disebutkan bahwa; “adalah diluar kesanggupan
manusia untuk mendapatkan pengetahuan atas usahanya sendiri pada
tingkat-tingakat permulaannya. Sebab itu, setiap orang memerlukan guru,
mu’allim, mu’addib atau ustadz, untuk kepentingan pelajarannya, serta pembentuk
watak, karakter, kepercayaan, tindak-tanduk, dan usaha-usahanya.[11]
Al-Zarnuji juga mengungkapkan pentingnya guru dengan berkata ; “untuk belajar,
diperlukan ketentuan dari tiga orang, yaitu : pelajar, guru, dan ayah”.[12]
Jelas
bahwa pentingnya posisi seorang guru dalam pendidikan sangatlah penting, karena
lewat dialah semua hal pembelajaran bisa tersampaikan. Sekaligus kedudukan guru
dalam pengajarannya dijadikan sebagai sentral perhatian oleh para peserta didik
untuk dijadikannya seorang tokoh yang bisa ditiru, baik dalam pemikirannya,
sikapnya dan pola kehidupannya. Adanya hal tersebut sangat memungkinkan bahwa
terbentuknya emosional atau tingkah laku seorang murid tergantung pada guru itu
sendiri.
7. Degradasi
Moralitas Guru
Dari
pemasalahan-permasalahan dewasa ini yang menyangkut moralitas guru sangatlah
memprihatinkan, dimana guru yang sejatinya sebagai tolak ukur terbentuknya
karakter para peserta didik justru menjadi penghancur moral dari peserta didik
tersebut. Peran guru yang seharusnya menjadikan anak bangsa yang mempunyai masa
depan yang cemerlang, tetapi malah memutus arah masa depan mereka. Sepertihalnya
contoh yang terbaru yang termuat dalam media bahwasanya terjadi pencabulan 14
siswi yang dilakukan oleh seorang guru yang juga posisinya sebagai Kepsek.[13]
Contoh kecil yang diungkap tadi, telah memberikan gambaran jelas terkait tindakan yang sangat tidak
terpuji yang dilakukan oleh guru. Dengan semakin maraknya permasalahan
degradasi moral guru yang seperti itu, kita bisa membayangkan dimana kemudian
tujuan atau peran seorang guru dalam arah pendidikan.
Untuk
mengembalikan citra seorang guru dan
mengembalikanya kembali kejalur yang benar, tentu dibutuhkanya sebuah konsep
atau pemberdayaan guru terutama terkait dengan karakter seorang guru. Supaya
hal-hal tabu yang mencoreng peran guru tidak lagi terjadi dalam proses
pendidikan di negeri ini.
8. Pemberdayaan
Guru
Dalam
proses pembelajaran disekolah, guru merupakan sumber daya edukatif dan
sekaligus aktor proses pembelajaran yang utama. Karena itu upaya pemberdayaan
guru adalah niscaya berdarkan hal-hal berikut[14] : pertama,
peran guru sebagai sumber edukatif yang utama tak akan pernah tergantikan
walaupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pembelajaran mengalami
perkembangan sangat pesat. Kedua, era otonomi daerah dan penyelenggaraan
pendidikan yang berbasis masyarakat menurut pertanggungjawaban proses proses
penyelenggaraan pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah secara
transparansi. Ketiga, perubahan sosial diikuti dengan perubahan tuntutan
masyarakat terhadap kompetensi lulusan pendidikan. Keempat, dengan
semakin buruknya moralitas yang dimiliki oleh guru.
Untuk
mewujudkan keempat pilar pendidikan tersebut dalam proses pembelajaran
diperlukan guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi, pengalaman
dan pengetahuan yang luas. Sementara itu faktor-faktor lain seperti fisik dan fasilitas,
kurikulum dan lingkungan pada dasarnya hanyalah sebagaai sarana pendukung agar
guru dapat menjalankan tugasnya secara efektif mencapai tujuan pendidikan. Dan
upaya pemberdayaan guru dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan dan
langkah-langkah.
1.
Pendekatan pemberdayaan guru
Ada
beberapa pendekatan dalam pemberdayaan guru diantaranya yaitu seperti yang diungkapkan
oleh Gaff dan Smith yaitu menggunakan tiga tahap pendekatan : pendekatan
personal, pendekatan intruksional, dan pendekatan organisional. Adapun
pendekatan guru dengan pendekatan organisional didasari oleh proporsisi (1)
lingkungan, (2) suatu organisasi merupakan suatu sistem yang dinamik dari
komponen-komponen yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Dan juga
pemberdayaan guru dapat terjadi apabila ada partisipasi aktif dalam proses
perencanaan, dan kegiatan sekolah. Dalam partisipasi setiap guru di reinforcement,
didorong, diberi kesempatan dan difasilitasi agar bisa memberikan sumbangan
pemikiran, mengadakan inovasi dan kreatifitas sehingga dapat mengembangkan dan
memberdayakan dirinya.
2.
Langkah-langkah pemberdayaan
Secara praktis,
langkah-langkah pemberdyaan guru dapat dilaksanakan pada hasil analisis atas
berbagai persoalan yang menjadi sumber atau menyebabkan ketidakberdayaan. Langkah-langkah
pemberdayaan guru berdasarkan analisis atas kondisi guru di Indonesia adalah
sebagai berikut :
a)
Peningkatan Kesejahteraan Guru
Peningkatan
kesejahteraan dapat berupa kesejahteraan-kesejahteraan ekstrinsik dan
intrinsik. Kesejahteraan ekstrinsik terkait dengan gaji yang layak yang minimal
dapat memenuhi kebutuhan fisik.
b)
Pengembangan Karier Guru
Pengembangan
karier antara lain dapat dilakukan dengan sistem promosi terbuka dan jujur
sehingga membuka peluang untuk berkompetisi secara fairness di antara
sesama guru.
c)
Peningkatan Kemampuan Para Guru
Peningkatan
ini dapat dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : pendidikan lanjutan
dalam jabatan, inservice traing, pembentukan wadah-wadah peningkatan
kualitas guru seperti penyeliaan, pemantapan kerja guru dan musyawarah guru
mata pelajaran.
d) Mengatasi
Beban Psikologis Guru
Guru memiliki
beban psikologis yang berat akibat tugas-tugas berat dan kompleks yang harus
dilaksnakan, tanggungjawab yang dipikulkan, kemampuan yang terbatas dan gaji
yang kecil.
BAB III
PENUTUPAN
Dari berbagai bahasan yang
dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan
belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis,
sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa
tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga
tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan
haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di
akhirat. Sekalipun
tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang
merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat
individual, sosial dan professional.
Mengenai pendapatnya tentang konsep
sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar, nampaknya lebih
cenderung kepada good- interactive atau fitrah positif-interaktif.
Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon terhadap
lingkungan social budaya bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun
nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial,
seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar
dapat bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut.
Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Maunah, Binti, Landasan Pendidikan,
Yogyakarta : TERAS, 2009
2.
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Omar, Falsafah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
3.
Sjalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta
: Bulan Bintang, 1973
4.
Naim, Ngainun, Rekontruksi Pendidikan Nasional, Yogyakarta
: TERAS, 2010
5.
DR. Tobrani, M.Si, Pendidikan Islam, Malang
: UMM, 2008
6.
Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil
Zarnuji, Ta’lim
Muta’allim
0 komentar:
Posting Komentar