Paradigma Masyarakat Papua Menjadi
Gerakan Sparatis
Konflik Jakarta-Papua yang sudah
berlangsung selama 47 tahun (terhitung sejak 1963) menumbuhkan dan memapankan
paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan
berpikir bagi kedua belah pihak. Pada posisi yang ekstrim, segala kejadian yang
terjadi di Papua dipahami dan ditanggapi dalam kerangka berpikir konflik
separatisme.
Pihak Pemerintah Pusat (baca: Kemenko Polhukkam, Depdagri, dan BIN) Jakarta menempatkan tujuan pemberantasan separatisme demi mempertahankan integritas NKRI di atas semua kebijakan politik dan ekonomi lainnya. Kekerasan negara pada masa Orde Baru dianggap benar secara politik karena dianggap sebagai upaya memberantas separatisme. Ekses dari kekerasan negara yang dianggap melanggar HAM dianggap tidak lebih penting dari pemberantasan separatisme.
Pada masa Reformasi dan
Otsus di Papua, praktik represi dan kekerasan negara juga masih mengatasnamakan
pemberantasan separatisme. Pembunuhan Theys Eluay pada November 2001
jelas-jelas diakui di pengadilan bahwa pembunuhan itu dilakukan demi mencegah
menguatnya gerakan pro-kemerdekaan Papua. Hal itu berlanjut terus pada kasus
Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), dan yang terakhir pembunuhan
Kelly Kwalik.
Atas nama pemberantasan
separatisme pula, pelanggaran UU “ditoleransi”. Misalnya, Inpres 1/2003 yang
membagi Papua menjadi tiga provinsi nyata-nyata melanggar Pasal 76 UU 21/2001.
Sebesar apa pun protes masyarakat dan kritik publik terhadap kebijakan tersebut,
kebijakan tersebut dipertahankan habis-habisan oleh Depdagri dengan backup dari
BIN dan Kemenko Polhukkam. Di kalangan internal mereka, alasannya jelas dan
tidak pernah dibantah. Inpres Pemekaran 1/2003 adalah untuk mencegah kesatuan
dan persatuan orang Papua pro-merdeka di Jayapura.
Dengan alasan
membendung pengaruh asing dalam gerakan separatisme pula Papua diperlakukan
sebagai daerah tertutup bagi peneliti dan wartawan asing. Fakta yang baik dan
buruk menjadi kabur di Papua. Batas antara berita faktual dan rumor hasil
imajinasi pelaku politik menjadi kabur. Berita resmi di surat kabar seringkali
dikalahkan oleh rumor yang berkembang di kalangan masyarakat melalui sms atau
bisik-bisik. Alhasil, dengan kecanggihan teknologi komunikasi telpon dan internet,
representasi dan citra Papua keluar menjadi sulit diverifikasi. Kecurigaan
tumbuh dengan sangat subur. Kasus-kasus kekerasan dari pihak negara atau dari
pihak kelompok gerakan Papua tidak pernah terungkap tuntas.
Perangkat dan institusi
penegakan hukum pun mengalami distorsi. Dalam banyak kasus politik Papua asumsi
polisi, jaksa dan hakim didominasi oleh paradigma separatisme. Aksi politik
mahasiswa dengan mudah dimasukkan dalam kotak separatisme. Sebelum peradilan
dimulai, sikap penegak hukum sudah jelas menunjukkan apriori mereka terhadap
tersangka atau terdakwa kasus politik. Contoh praktik peradilan aktivis
mahasiswa Buchtar Tabuni dan kawan-kawan (2009) yang diadili dengan menggunakan
pasal subversi menunjukkan hal itu. Kalau di luar Papua pasal-pasal yang
dikenakan mungkin lebih ringan. Karena paradigma itu instrumen penegakan hukum
juga cenderung disubordinasi dan dimanipulasi menjadi alat untuk membatasi dan
membungkam ekspresi politik warga negara.
Kewaspadaan yang
eksesif dan stigma separatis yang dihasilkannya digunakan lebih jauh sebagai
alat kontrol dan marjinalisasi kalangan oposisi Papua. Yang paling
memprihatinkan dari semuanya, paradigma separatisme digunakan sebagai topeng
bagi berbagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya, yakni pelayanan
publik dan penciptaan rasa aman, terhadap warga negara Indonesia di Papua.
Produk yang dominan dari paradigma separatisme adalah pelanggengan impunitas
dan ketidakadilan.
“Penyakit” paradigma
separatisme juga menjangkiti pemimpin dan masyarakat Papua, kebanyakan pemimpin
dan elit masyarakat Papua yang pro-kemerdekaan Papua. Mereka hampir selalu
menggiring pemahaman semua proses politik ke arah wacana tuntutan kemerdekaan
Papua. Pemerintah dianggap secara sengaja dan terencana menyingkirkan atau
memusnahkan orang asli Papua karena mereka separatis.
Pihak Papua, terutama
kalangan TPN/OPM dan kalangan masyarakat dan elit Papua, baik yang pernah
menjadi korban langsung kekerasan negara maupun yang terkait secara kekerabatan
maupun historis dengan korban, merasa telah menjadi korban kekerasan negara
baik secara simbolis maupun struktural. Akibatnya tumbuh budaya teror, yakni
segala hal yang buruk, bencana penyakit, dan peristiwa kekerasan hampir selalu
diyakini sebagai desain pihak lain (kebanyakan Jakarta) untuk membunuh,
menyingkirkan, dan memusnahkan orang asli Papua. Produk dari budaya teror ini
adalah ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah pada umumnya.
Ketika jumlah penderita
HIV/AIDS di kalangan orang asli Papua meningkat pesat, banyak wacana mengatakan
bahwa penyakit itu sengaja dibawa oleh aparat Polri atau TNI melalui pekerja
seks yang didatangkan dari luar Papua. Virus HIV/AIDS dilihat sebagai alat
untuk membunuh orang asli Papua secara perlahan agar pada akhirnya musnah dari muka
bumi ini. Tidak ada pertanyaan kritis yang mencoba memahami kompleksitas pola
hubungan seks di kalangan orang asli Papua, transaksi seks bebas antara Papua
dengan pendatang, kebiasaan seks tanpa kondom, hingga kebijakan pemerintah
dalam penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS.
Kebanyakan orang
menjadi tidak berminat untuk melihat fakta secara jeli dan kritis tapi hanya
ingin membenarkan prasangkanya. Budaya teror ini mewujud dalam ketakutan dan
kebencian terhadap aparat keamanan negara secara berlebihan. Segala hal yang
dianggap datang dari Jakarta cenderung dicurigai secara berlebihan. Dari sini
tumbuh pula mentalitas korban. Banyak warga Papua kehilangan kemampuan memahami
persoalannya sendiri secara kritis, kehilangan kepercayaan diri, dan cenderung berharap
bantuan pihak lain (dari luar Indonesia) dalam menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Segala hal yang berbau
internasional dilihat sebagai pengharapan baru tertinggi. Dalam proses
pelaksanaan konsultasi publik akhir-akhir ini serta berbagai lokakarya, kita
banyak mendengar tuntutan warga Papua untuk diadakan dialog internasional,
mediator internasional, masuknya pasukan perdamaian PBB ke Papua, dan
sebagainya. Tanpa berpikir lebih jauh, apa yang internasional dianggap lebih
baik dan dapat menyelesaikan masalah. Seringkali pemimpin Papua sendiri juga
memanipulasi mitos tentang kekuatan internasional untuk tetap mendapatkan
dukungan politik dan dana dari masyarakat.
Paradigma separatisme juga membuat orang Papua mengembangkan dan memperkuat mitos bahwa orang asli Papua pasti di dalam hatinya menyimpan aspirasi M dan orang non-Papua (baca: warga Indonesia dari luar Papua) pasti pro-NKRI dan dianggap “musuh”. Perhatikan pernyataan aktivis Papua dalam berbagai diskusi atau seminar. “Saya tidak percaya kamu karena kamu orang Indonesia yang bunuh-bunuh kami.” “Hanya orang Papua yang tahu Papua dan punya hati untuk membangun Papua.” Wacana itu terus hidup meskipun sudah banyak pemimpin Papua yang menindas warga Papua atau sebaliknya orang non-Papua yang berjasa banyak bagi orang Papua.
Paradigma separatisme juga membuat orang Papua mengembangkan dan memperkuat mitos bahwa orang asli Papua pasti di dalam hatinya menyimpan aspirasi M dan orang non-Papua (baca: warga Indonesia dari luar Papua) pasti pro-NKRI dan dianggap “musuh”. Perhatikan pernyataan aktivis Papua dalam berbagai diskusi atau seminar. “Saya tidak percaya kamu karena kamu orang Indonesia yang bunuh-bunuh kami.” “Hanya orang Papua yang tahu Papua dan punya hati untuk membangun Papua.” Wacana itu terus hidup meskipun sudah banyak pemimpin Papua yang menindas warga Papua atau sebaliknya orang non-Papua yang berjasa banyak bagi orang Papua.
Paradigma itu pula yang
menyuburkan ketakutan dan melihat seluruh sudut bumi ini diawasi dan dikontrol
oleh intel atau aparat keamanan Indonesia. Perasaan ini kuat tertanam di
kalangan warga atau pemimpin Papua yang merasa dirinya diawasi karena ikut
dalam gerakan politik anti-Indonesia. Misalnya seseorang sakit dan tidak mau
berobat ke Jakarta karena takut nanti rumah sakitnya disusupi intel dan
disuntik racun ke dalam botol infusnya. Atau juga seorang aktivis yang
mengalami kecelakaan motor dan mengembangkan rumor bahwa seorang intel
mendorongnya masuk ke dalam selokan. Tidak ada pertanyaan kritis muncul di situ
dan orang cenderung percaya begitu saja.
Wacana separatis atau
kata “merdeka” juga menjadi alat yang dianggap efektif untuk menakut-nakuti
pejabat di Jakarta dengan tujuan memenuhi ambisi politik para pejabat Papua.
Misalnya, ketika tuntutan pencairan dana tertentu tidak atau belum dicairkan
oleh lembaga di Jakarta, intimidasi dengan menggunakan kata “merdeka” mulai bermunculan.
Contoh lain yang nyata adalah salah satu alasan dimenangkannya judicial review
di Mahkamah Konstitusi menyangkut 11 anggota DPRP tambahan, yakni bahwa di
dalam komposisi keanggotaan DPRP yang sekarang kelompok pro-NKRI tidak
terwakili. Di balik itu, sederhana saja, para pengusul dari Barisan Merah
Putih, mau mengambil jatah dari 11 kursi kalau berhasil.
Paradigma separatisme
juga digunakan sebagai alat untuk berlindung dari jeratan hukum oleh pejabat
Papua yang korup. Beberapa pejabat korup yang mulai disidik atau bahkan sudah
disidangkan, mulai membuat pernyataan-pernyataan gaya “nasionalis-Indonesia”
dengan banyak menyebut kata NKRI, mengecam kelompok pro-merdeka, atau
mengungkit kembali jasa-jasanya “membela” NKRI.
Keseluruhan situasi
terpapar di atas menjadi salah satu sebab penting kelumpuhan dan kebuntuan
politik. Pihak Jakarta cenderung mencurigai dan menolak sebagian besar
inisiatif penyelesaian masalah yang datang dari Papua dengan rumusan “NKRI
harga mati”. Sebaliknya pihak Papua merasa terus menerus diperlakukan tidak
adil dan diakhianati oleh Jakarta sehingga juga berkeras dengan rumusan
reaksioner bahwa “Merdeka adalah juga harga mati”.
Kecurigaan di antara
keduanya disuburkan oleh berbagai kebijakan dari Jakarta yang represif dan
tidak ramah Papua. Sebagai reaksi, berbagai aksi dan pernyataan politik dari
Papua semakin memperkuat paradigma separatisme tersebut di atas.
Pada akhirnya pada satu
sisi paradigma separatisme menghasilkan kebijakan dan perilaku aparat
pemerintah yang justru bertentangan dengan tujuan pemberantasan separatisme itu
sendiri. Pada sisi lain, hal ini memperkuat keinginan, minimal menguatkan
wacana separatisme, orang asli Papua untuk memisahkan diri.
0 komentar:
Posting Komentar